Bila kita cermati peristiwa kudeta yang dilakukan terhadap Thaksin Shinawatra, Perdana Menteri Thailand (saat itu), pada September, ada hal menarik yang berkaitan dengan pajak.
Media massa memberitakan penjualan perusahaan telekomunikasi milik keluarga Thaksin-Shin Corp-ke Temasek, Singapura, atas keuntungannya sebesar US$1,9 miliar dibebaskan dari pajak. Konon, pembebasan pajak inilah yang menjadi salah satu pemicu mulainya demonstrasi yang berlarut-larut. Kepercayaan kepada Thaksin menyurut dan akhirnya terjadi peralihan kekuasaan.
Peristiwa ini merupakan fenomena menarik. Masyarakat sudah makin kritis terhadap permasalahan pajak. Masyarakat telah mau, dan mulai ikut serta dalam menentukan pengenaan pajak yang berlaku terhadap semua lapisan masyarakat, tanpa terkecuali.
Dalam arti, di hadapan pajak-sama dengan hukum- semua masyarakat (termasuk penguasa dan pejabat) adalah sama. Tidak boleh ada diskriminasi, apalagi dibebaskan pajaknya. Jika ada objek yang dikenakan pajak, haruslah membayar pajak, siapa pun dia. Masyarakat menganggap ada haknya di sana.
Keikutsertaan masyarakat secara langsung, sepanjang dalam rambu-rambu penegakan prinsip perpajakan, memang sangat diperlukan. Ini sebagai dukungan yang konstruktif dalam menunjang keberhasilan penarikan pajak.
Karena, mayoritas masyarakatlah yang dikenakan pajak, dan sekaligus sebagai pembayar pajak. Sehingga wajar, bila ada subjek pajak yang tidak membayar, masyarakat tidak bisa menerima, seperti halnya di Thailand tersebut.
Di negara kita, keikutsertaan masyarakat dalam perpajakan sangat jelas, bahkan secara yuridis telah diatur sejak awal berdirinya Republik Indonesia, yakni dalam konstitusi negara. Saat itu, dalam Pasal 23 ayat (2) UUD 1945 telah dinyatakan dengan tegas oleh founding father, segala pajak untuk keperluan negara berdasarkan undang-undang.
Dari aspek legislasi, berdasarkan undang-undang diartikan rakyat (melalui wakilnya di DPR) telah turut serta menentukan pengenaan, pemungutan, dan penarikan pajak dari subjek pajak.
Hak Masyarakat
Dalam negara demokrasi, adalah hak masyarakat untuk mendapatkan barang dan jasa publik (public goods and services) yang dibutuhkan. Misalnya, hak udara yang bersih untuk menghirup, tersedianya jalan sebagai sarana transportasi, maupun irigasi untuk pertanian.
Bila ada bencana alam, segera dapat direkonstruksi dan direhabilitasi rumah-rumah penduduk. Bahkan kalau memungkinkan gratis sekolah, berobat ke puskesmas atau rumah sakit, dan lainnya.
Bisa dibayangkan, jika masya-rakat sendiri yang menyediakan hal-hal di atas, berapa dana yang harus disediakan. Apalagi di negara yang sebagian besar masyarakatnya hidup dalam kelompok menengah ke bawah, bahkan banyak pengangguran.
Karena barang dan jasa publik tersebut disediakan oleh negara, berarti negara harus memiliki dana yang cukup. Dalam struktur anggaran negara, seperti halnya negara kita bisa mencapai 75% diperoleh dari pajak.
Namun, walaupun telah direncanakan, besar kecilnya pajak yang diperoleh akan secara langsung memengaruhi kuantitas dan kualitas barang dan jasa publik. Dengan demikian, jelaslah bahwa pajak merupakan hak masyarakat.
Tantangan Penerimaan
Terkait dengan hak masyarakat, sangat menarik dicermati kajian Parwito dalam tulisannya "Mampukah target penerimaan pajak tercapai?" (Bisnis, 16 Oktober). Untuk tahun ini dihitung, masih akan kurang sekitar Rp15 triliun.
Apa jadinya yang diperoleh masyarakat, jika rencana Rp371,7 triliun dalam APBN-P 2006, dan APBN selanjutnya tidak tercapai. Bisa dipastikan, akan makin banyak sarana dan prasarana yang dibutuhkan masyarakat tidak dapat disediakan maksimal.
Dengan uang sebanyak Rp15 triliun yang tidak terpenuhi dalam APBN, berbagai program yang mengarah kepada peningkatan kualitas hidup masyarakat menengah ke bawah akan terganggu.
Bahkan bila mengaca kepada prinsip kerja Muhamad Yunus, peraih hadiah Nobel Perdamaian 2006, dengan nilai tersebut berapa banyak masyarakat kita bisa terangkat derajat kehidupannya dari garis kemiskinan.
Kesulitan ekonomi memang masih terlihat di berbagai sektor usaha. Ini sebagai rangkaian masih melemahnya geliat sektor riil, yang berbeda dengan sektor finansial. Sehingga terlihat, walaupun masih banyak masyarakat hidup dalam kesusahan, tidak sedikit juga masyarakat yang hidup dalam kecukupan bahkan kemewahan.
Indikasinya, sektor otomotif, properti, dan finansial yang secara nyata terus mendominasi kegiatan hidup masyarakat.
Dalam kaitan ini, ada dua hal yang perlu kita telaah. Pertama, masih banyak sebenarnya perusahaan yang tumbuh sehat secara riil, walaupun terkadang bila sudah ke publik seakan-akan terengah-engah bahkan terkesan sekarat. Ini terutama perusahaan keluarga yang sifatnya sangat tertutup, sehingga bukan perusahaannya yang terlihat sehat, melainkan pemiliknya yang klimis dan gaul.
Kedua, mengacu kepada indikator pembayar pajak antara perusahaan dengan orang pribadi. Idealnya, pembayaran orang pribadi lebih besar daripada perusahaan. Karena akhir perjalanan uang yang ada di perusahaan juga kepada orang pribadi, yakni pemegang saham. Belum lagi pembayaran gaji karyawan.
Bila kedua tantangan penerimaan ini bisa terlewati, kegalauan Parwito akan pencapaian target penerimaan pajak mungkin akan terjawab.
Dalam hubungan ini, untuk merealisasi hak masyarakat, sejak dahulu pajak telah merupakan bagian dari ilmu negara. Menurut Von Yhering dalam bukunya "Der Zwern und Recht", negara mempunyai monopoli kekuasaan, bisa memaksakan warga negaranya di antaranya untuk memungut pajak.
Miriam Budiardjo mengurai sifat memaksa, bahwa setiap warga negara harus membayar pajak. Orang yang menghindar dapat dikenakan denda.
Oleh Liberti Pandiangan
Kepala Bidang Pemeriksaan Penyidikan dan Penagihan Pajak
Kanwil Ditjen Pajak di Palembang
0 Response to "Pajak sebagai Hak Rakyat"
Post a Comment