Peranan Mahasiswa Dalam Pengembangan Ekonomi Islam

Krisis moneter yang kemudian berkembang menjadi krisis ekonomi, bahkan krisis sosial dan politik yang melanda Indonesia lebih dari empat tahun berjalan ini di samping membawa derita ternyata juga memberi berkah terselubung (blessing in disguisse). Senyatanya krisis ini memang membuat banyak orang menderita. Lebih dari 100 juta orang jatuh ke jurang kemiskinan, 40-an orang nganggur, jutaan anak putus sekolah, jutaan lagi mengalami malnutrisi. Lalu, akibat kerusuhan di berbagai tempat, ratusan ribu orang terpaksa meninggalkan kampung halamannya. Tapi di tengah begitu banyak orang yang merasa kesusahan akibat krisis yang belum jelas kapan akan berakhirnya ini, tidak sedikit orang yang justru diuntungkan. Para eksportir misalnya, jelas merasa gembira dengan melemahnya mata uang rupiah. Keuntungan yang dipetik dari bisnis ekspor menjadi berlipat ganda bila diuangkan dalam rupiah.

Tapi berkah terselubung yang dimaksud di sini bukan hanya bersifat material. Malah memang bukan itu yang utama. Berkah yang utama adalah ditunjukinya kita secara nyata akan kerapuhan sistem ekonomi kapitalistik yang tengah berjalan saat ini. Secara imani, kita yakin bahwa sistem ekonomi apapun bila tidak bersumber atau bertentangan dengan kemauan Allah SWT, dzat yang menciptakan manusia, alam semesta dan kehidupan ini, cepat atau lambat pasti akan membawa petaka. Al-qur’an menyebutnya fasad. Fasad atau kerusakan itu timbul sebagai akibat logis dari tidak ditatanya kehidupan bermasyarakat dan bernegara termasuk di bidang ekonomi dengan cara atau sistem yang benar. Sistem yang benar adalah adalah sistem yang berasal dari Sang Pencipta yang sampai kepada kita dalam rangkaian al-wahyu tadi. Ibarat alat elektronik, bila tidak dijalankan sesuai dengan manual dari pabrik pembuatnya, cepat atau lambat alat itu pasti akan rusak.

Krisis ekonomi ini memberikan bukti empirik kepada kita tentang kerusakan itu. Sebenarnya peringatan akan kemungkinan terjadinya krisis sudah jauh-jauh hari ditulis dengan nada pasti oleh al-Qur’an. Tapi sangat banyak diantara kita yang kurang atau malah tidak mempercayainya begitu saja. Kebanyakan manusia memang cenderung percaya bila segala sesuatunya telah terbukti secara nyata di depan mata dan kepala sendiri. Nah, krisis ini memberikan bukti nyata. Bila sudah begini, masihkah kita akan ragu akan kebenaran semua peringatan dan janji-janji yang tertulis dalam al-wahyu?

Bila akibat krisis multidimensi yang melanda negeri yang pernah disebut-sebut sebagai zamrud khatulistiwa ini memberikan kesadaran spiritual kepada kita, maka benarlah bahwa krisis memang memberikan berkah terselubung. Tapi bila tidak, ya krisis itu semua hanya berhenti sekadar sebagai krisis. Ia tidak memberikan hikmah apa-apa. Dan itu berarti kita berarti telah gagal menarik pelajaran dari apa yang terjadi di sekeliling kita. Kita memang punya mata, telinga dan pikiran, tapi ternyata tidak digunakan untuk “melihat”, “mendengar” dan “memikirkan.” Semua berakhir sia-sia.

Kesadaran spiritual berupa keyakinan akan buruknya sistem yang tidak bersumber dari Allah SWT dan sekaligus keinginan kuat untuk mewujudkan sistem alternatif inilah yang dimaksud dengan berkah terselubung. Bila tidak ada krisis, belum tentu kita memiliki kesadaran seperti ini. Jadi benar, krisis membawa berkah bukan?

Tumbuh Dari Dua Arah

Beberapa tahun terakhir ini memang marak berbagai kajian tentang ekonomi Islam, termasuk pembukaan program studi ekonomi Islam di sejumlah lembaga pendidikan negeri ataupun swasta dan sejumlah implementasi nyata dari gagasan ekonomi Islam itu. Semangat itu paling sedikit didorong oleh dua faktor utama. Pertama secara internal adalah adanya penaikan kesadaran spiritual di tengah-tengah masyarakat muslim yang makin intensif sejak tahun 80-an, yang waktu itu ditandai maraknya jilbab, kajian-kajian keislaman di berbagai tempat termasuk di kantor-kantor, menaiknya jumlah jamaah haji dan sebagai. Kedua secara eksternal adalah dengan adanya berbagai krisis, termasuk krisis ekonomi, yang muncul di tengah masyarakat.

Pada tahap awal, kesadaran spiritual itu memang cenderung bersifat supersifisial dan simbolik. Juga terbatas pada masalah-masalah ritual yang sangat individualistik. Tapi belakangan, kesadaran itu mulai menyentuh aspek-aspek sosial bahkan politik yang bersifat komunal dan massal. Kesadaran simbolistik tetap berlangsung, tapi seiring dengan waktu, kesadaran itu makin dilengkapi dengan penghayatan terhadap nilai-nilai substansial di balik simbol-simbol itu. Maka, secara kualitatif kesadaran itu jelas makin meninggi. Secara kuantitatif juga makin menyentuh lebih banyak orang dari berbagai kalangan yang lebih beragam. Bila dulu keberislaman seolah menjadi milik kaum santri pedesaan, kini tidak lagi. Orang yang bukan dari latar belakang santri juga merasa absah untuk mengekspresikan keberislamannya secara terbuka. Bahkan sejujurnya ekspresi itu lebih tampak eksplosif dan kadang mengharukan pada apa yang ditunjukkan oleh kalangan terdidik dan kaum profesional di perkotaan.

Ditambah dengan kesadaran terhadap krisis-krisis empirik baik berkenaan dengan persoalan politik internasional maupun domestik, persoalan sosial seperti maraknya kriminalitas, persoalan budaya seperti makin berkembangnya permisivisme, di bidang pendidikan dengan tawuran pelajar yang makin tinggi intensitasnya, dan di bidang ekonomi dengan adanya krisis seperti yang sebagiannya sudah dijelaskan di muka, kesadaran spiritual mendorongnya untuk mencari alternatif-alternatif solusi bagi berbagai persoalan faktual yang dihadapi oleh masyarakat. Di sinilah kemudian semangat pencarian terhadap konsepsi alternatif, khususnya di bidang ekonomi, menemukan momentumnya. Maka, maraknya berbagai kajian-kajian tentang ekonomi Islam dan implementasinya merupakan bukti nyata dari geliat proses upaya mencari pemuasan dahaga intelektual itu. Tapi ketika tuntutan terhadap hadirnya sistem alternatif agar tidak sekadar menjadi wacana meningkat, terutama terhadap ketersediaan SDM yang bukan hanya paham tapi juga memiliki keahlian ekonomi Islam, maka kajian saja dirasa tidak lagi mencukupi. Lalu didirikanlah pusat-pusat pendidikan yang mengajarkan program ekonomi Islam.

Pendidikan Ekonom Islam

Selanjutnya, apakah filosofi, konsepsi, fungsi, kedudukan, peran dan nilai strategis dari ekonomi Islam dalam kehidupan masyarakat dipahami secara komprehensif atau tidak, sangat menentukan apresiasi seseorang terhadap ekonomi Islam itu sendiri. Bila ia tidak memahami bahwa ekonomi Islam merupakan bagian dari syariah yang akan mengatur kehidupan masyarakat secara sebaik-baiknya dan akan memberikan kerahmatan kepada siapa saja, tentu ia tidak tergerak untuk mewujudkannya. Demikian juga bila ia tidak memahami bahwa melalui ekonomi Islam proses distribusi kekayaan diantara manusia secara ekonomi maupun non ekonomi yang akan menentukan kesejahteraan masyarakat dapat dilakukan dengan sebaik-baiknya, ia akan menilai ekonomi Islam secara sebelah mata. Sebagai bagian dari sistem distribusi, tentu ia juga tidak akan menempatkan zakat misalnya, sebagai bagian dari kebijakan ekonomi. Bila ia seorang ekonom, zakat tetap dipandang hanya dalam konteks kepentingan individual, bukan komunal, apalagi menjadi bagian dari kebijakan rasional penanganan masalah-masalah ekonomi. Maka, masyarakat akan kehilangan salah satu instrumen distribusi yang sangat penting dalam mewujudkan keadilan dan kesejahteraan di tengah masyarakat. Akibatnya, problematika kemiskinan dan kesenjangan ekonomi yang ditimbulkan oleh krisis ekonomi yang demikian parah akan semakin sulit untuk diatasi.

Tentu saja ini sebuah ironi. Satu sisi kita mengeluhkan betapa krisis ini telah membuat sekian puluh juta orang jatuh ke jurang kemiskinan dan menimbulkan sekian problematika susulan, dan karenanya kita ingin segera terbebas dari penderitaan ini, tapi di sisi lain kita mencampakkan satu cara jitu yang diajarkan Islam guna mengatasi atau paling sedikit mengurangi berbagai dampak dari krisis itu. Maka, benarlah apa yang sering dikemukakan orang bahwa krisis ini timbul akibat ulah kita sendiri, dan tidak kunjung berakhir juga akibat tindakan kita sendiri.

Maka, menjelaskan kedudukan sistem ekonomi menurut Islam sangatlah penting. Tegaknya sistem ekonomi Islam sebagai bagian dari ibadah harus dilaksanakan oleh setiap muslim, dan sebagai bagian dari sistem kehidupan harus menjadi salah satu kebijakan pemerintah. Pemahaman seperti inilah yang harus diberikan kepada umat, terutama pada pengajaran ekonomi Islam. Kelak, bila sistem ekonomi Islam benar-benar tegak, para birokrat yang sebelumnya telah mempelajari tidak akan ragu melaksanakan sistem ekonomi Islam secara sungguh-sungguh dan menempatkannya sebagai bagian tak terpisahkan dari kebijakan negara. Sementara itu, secara personal, orang yang telah mempelajari ihwal ekonomi Islam tentu akan terdorong untuk mengamalkannya. Dan bila kelak memiliki berbagai usaha, ia diharapkan tetap berpegang pada prinsip-prinsip bisnis Islami yang merupakan bagian dari sistem ekonomi Islam. Bila ia bukan pemilik, tapi sekadar pegawai, ia akan terdorong untuk mengingatkan perusahaan atau lembaga tempat ia bekerja untuk tetap di jalan syariah.

Maka, terdapat benar merah yang sangat terang antara keberhasilan pengelolaan ekonomi di masa mendatang dengan pengajaran ekonomi Islam di masa sekarang ini.

Tantangan dan Hambatan

Tidak mudah mewujudkan gagasan-gagasan ekonomi Islam. Ada sejumlah hambatan dan tantangan yang akan dihadapi. Diantaranya adalah:

Sumber Daya Manusia

Diperlukan sumberdaya manusia handal baik itu seorang ustadz, kyai, intelektual, dosen ataupun praktisi untuk melakukan proses penyadaran umat melalui berbagai jalur baik pendidikan, pelatihan, kajian ataupun kampanye, serta implementasi-implementasi praktis dari ekonomi Islam itu. Benar bahwa sistem ekonomi Islam hanya mungkin bisa ditegakkan secara sempurna dalam sistem kehidupan Islam. Tapi, juga tidak berarti bahwa tanpa sistem Islam, ekonomi Islam tidak dapat diterapkan sama sekali. Gagasan ekonomi Islam tentang bisnis, tentang model-model pengelolaan keuangan, manajemen pemasaran, keuangan dan sumberdaya manusia misalnya, bisa diterapkan sekarang. Dan untuk itu semua diperlukan sumberdaya manusia yang mumpuni. Sumberdaya tersebut semestinya memiliki pemahaman yang utuh tentang ekonomi Islam, sehingga tidak menimbulkan distorsi di tengah umat. Yang terlihat pada sementara yang ada, kebanyakan hanya memahami ekonomi Islam, misalnya sebatas perbankan. Paling jauh sebagai bentuk penanganan masalah-masalah keuangan. Jarang yang mengajarkan ekonomi Islam dengan pandangan sistemik, yakni sebagai bagian dari sistem kehidupan Islam, dan bahwa bagian dari ekonomi Islam yang paling menentukan corak kehidupan masyarakat adalah justru ekonomi kebijakan atau ekonomi politik. Bila pemahaman parsial itu terus terjadi, lagi-lagi ekonomi Islam hanya akan dipandang sebagai persoalan individual. Bukan sistem. Akibatnya, tidak akan mendorong masyarakat untuk tergerak secara serius mewujudkan kehidupan Islam, dimana sistem ekonomi adalah salah satu bagian di dalamnya.

Masyarakat sekarang ini memang banyak yang tengah menderita. Dan penderitaan itu akan semakin berkepanjangan bila masyarakat tidak mau berubah. Ternyata yang memberikan andil terbesar dari kejumudan itu adalah para cerdik pandai itu sendiri, yang tidak memberikan pemahaman yang benar seputar ekonomi Islam kepada masyarakat.

Antara Kini dan Mendatang

Keharusan menempatkan ekonomi Islam pada pengertian, fungsi dan kedudukan yang semestinya bukanlah hanya persoalan masa depan, dan tidak boleh dipandang sebagai masalah nanti. Ia harus menjadi persoalan sekarang. Merancang masa depan memang penting, tapi menyelesaikan persoalan yang dihadapi di masa kini juga penting. Bila keluaran (out-put) dari proses-proses pendidikan termasuk berkenaan dengan perihal perekonomian Islam sebagaimana telah diuraikan di atas baru akan dinikmati pada 5 – 10 tahun mendatang, harus dicarikan jalan agar out-put penyadaran umat di seputar dunia ekonomi Islam juga bisa segera dirasakan pada waktu-waktu sekarang ini. Maka, upaya-upaya di luar jalur pendidikan guna merealisasikan sebagian kecil atau besar dari gagasan ekonomi Islam harus juga dilakukan. Misalnya melalui berbagai kegiatan kajian, kampanye di media cetak, elektronik, atau media luar ruang, dalam berbagai forum kepada masyarakat dari berbagai profesi. Sedemikian sehingga masyarakat juga dimungkinkan memiliki kesadaran yang kurang lebih sama di seputar ekonomi Islam dengan para mahasiswa yang secara khusus mengkaji masalah ekonomi Islam.

Tabrakan dengan Negara

Bila ekonomi Islam dipandang bukan hanya persoalan individual tapi juga komunal, lalu pelaksanaannya tidak hanya persuasif tapi juga represif, dan secara sistemik ia merupakan salah satu instrumen penting dalam tegaknya kehidupan Islam, maka keterlibatan negara mutlak adanya. Tapi, kenyataannya tidaklah demikian. Negara yang ada sekarang ini tidaklah memandang ekonomi Islam dalam perspektif yang benar. Memang telah ada misalnya, UU Zakat dan UU Perbankan yang memuat pasal bank syariah, tapi justru adanya undang-undang itu merupakan bukti yang sangat nyata betapa negara belumlah berperanan dalam penanganan ekonomi Islam secara tepat. Semestinya, bukan hanya tentang zakat atau perbankan saja yang dibuatkan undang-undangnya, tapi juga masalah-masalah lain yang terkait dengan ekonomi. Khusus menyangkut UU zakat, semestinya UU itu memuat kewajiban paksa untuk membayar zakat kepada setiap muslim yang telah memenuhi nishab dan haul pada harta yang dimilikinya. Juga memuat pasal yang sangat jelas tentang bentuk hukuman buat mereka yang menolak membayar zakat. Lalu, karena zakat telah menjadi bagian dari kewenangan pemerintah, semestinya UU itu juga tidak mengijinkan lagi – sebagaimana dalam pajak -- adanya lembaga pemungut zakat partikelir. Semuanya diambil alih oleh negara. Tapi dalam UU Zakat yang ada semua itu tidak termuat. Jadi, jelas sekali bahwa undang-undang itu dibuat bukan dalam perspektif yang seharusnya. Ia memang merupakan hasil kompromi antara yang senyatanya dengan yang semestinya. Di sini terlihat, bahwa pada setiap gagasan ekonomi Islam, termasuk soal zakat, bila telah sampai tahapan implementasi, selalu saja mengalami benturan dengan negara.

Begitu juga dengan perbankan. Semestinya, bank syariah menjadi satu-satunya alternatif bank dalam sistem perbankan nasional karena ketika riba telah dinyatakan haram, selanjutnya tidak boleh dibuka peluang untuk tetap mempraktekkannya melalui bank konvensional.

Bila implementasi zakat, perbankan dan lainnya tidak secara ideal itu dilakukan, tentu hal ini akan membuka peluang terjadinya kesenjangan antara teori yang diajarkan di dalam ruang kuliah yang tentu berisi gagasan-gagasan ideal atau yang semestinya dengan yang senyatanya. Akhirnya, pemahaman yang diterima oleh mahasiswa dalam pengajaran ekonomi Islam berakhir hanya sebagai wacana. Bila yang bersangkutan mengerti duduk persoalannya mengapa hal itu sampai terjadi, tidaklah terlalu menjadi masalah. Tapi bila tidak, sangat mungkin akan muncul skeptisme. Yakni ketika mahasiswa memandang bahwa gagasan zakat, perbankan dan ekonomi Islam hanya teoritis belaka. Tidak aplikatif. Gawat bukan?
Peran Mahasiswa

Melihat kenyataan-kenyataan di atas, maka peran yang bisa dimainkan mahasiswa dalam pengembangan ekonomi Islam adalah:
1. Aktor
Artinya, mahasiswa semestinya menjadi pionir-pionir dalam praktik ekonomi Islam. Misalnya mahasiswa hanya menjual dan membeli barang dan jasa yang halal saja. Mengelola keuangan tanpa riba. Mengembalikan bila meminjam barang. Melakukan kegiatan sewa menyewa dengan benar. Serta berbisnis sesuai syariah. Bukan hanya semasa mahasiswa, selepas kuliah nanti peran sebagai pionir semestinya tetap dilakukan karena melaksanakan ekonomi Islam adalah kewajiban setiap muslim. Dengan adanya pionir-pionir ini yang seiring dengan waktu diharapkan semakin banyak, masyarakat akan melihat secara langsung praktik ekonomi Islam dan kebaikan-kebaikan yang dihasilkannya.

2. Edukator
Sebagai kelompok masyarakat terdidik, mahasiswa secara relatif lebih cepat memahami dan memiliki akses ke khasanah wacana ekonomi Islam ketimbang kelompok masyarakat lain. Karenanya, mahasiswa harus mampu mengedukasi masyarakat agar pemahamannya tentang ekonomi Islam bisa meningkat hingga praktik ekonomi Islam di tengah masyarakat juga semakin berkembang. Tapi harus disadari, untuk bisa menjadi pionir dan mengedukasi masyarakat tentu diperlukan kesediaan mahasiswa untuk terus menerus mengkaji ekonomi Islam.

3. Motivator
Pengkajian dan praktik ekonomi Islam di tengah sistem kapitalis bukanlah tindakan yang populer, terasa asing dan mudah menimbulkan rasa putus asa mengingat nature dari masyarakat memang tidaklah kompatibel dengan ekonomi Islam. Disinilah diperlukan motivasi terus menerus, terutama dari para mahasiswa untuk tidak mudah putus asa dalam mengkaji dan mengimplementasi ekonomi Islam. Bila mahasiswa yang katanya cenderung idealistik saja putus asa dalam berekonomi Islam, apatah lagi masyarakat yang cenderung lebih pragmatis.

4. Akselerator
Mahasiswa harus menyadari bahwa sebesar apapun praktik dan setinggi apapun kesadaran masyarakat tentang ekonomi Islam di tengah sistem sekuler tetaplah belum merupakan wajah sesungguhnya dari keadaan yang sebenarnya bila ekonomi Islam diterapkan secara keseluruhan. Oleh karena itu, mahasiswa tidak boleh puas sekadar melihat sebagian wajah ekonomi Islam. Harus ada upaya terus menerus dengan mendorong percepatan (akselerasi) penerapan dan kesadaran ekonomi Islam hingga betul-betul terwujud di tengah masyarakat melalui tegaknya sistem kehidupan Islam. Saat itulah kita akan melihat wajah ekonomi Islam secara relatif lebih utuh, serta turut merasakan kerahmatan yang dijanjikan.

Ditulis oleh Muhammad Ismail Yusanto (Direktur SEM-Institute, Jakarta)

0 Response to "Peranan Mahasiswa Dalam Pengembangan Ekonomi Islam"

Followers