Menurut rencana, tahun ini akan ditandai dengan digitalisasi pelaporan PPN dan PPnBM seluruh Indonesia. Untuk tahap awal, Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang menerima dan menerbitkan faktur pajak dalam satu masa pajak tidak melebihi 300 buah, masih diperkenankan menyampaikan SPT Masa PPN/PPnBM secara konvensional, yaitu menggunakan formulir kertas biasa sampai dengan Juni 2006.
PKP-PKP lainnya harus sudah melaporkan PPN/PPnBM secara digital sejak awal 2006. Mulai Juli 2006, semua PKP harus melaporkan PPN/PPnBM secara digital. Seluruh rencana Direktur Jenderal Pajak (DJP) ini tertuang dalam peraturan DJP Nomor PER-145/PJ/2005 tanggal 15 September 2005.
Namun demikian, melalui PER-166/PJ/2005 16 Desember 2005, DJP menunda berlakunya PER 145 tersebut sampai akhir 2005. Selain mengatur digitalisasi pelaporan PPN/PPnBM, PER 145 juga memperkenalkan formulir SPT Masa baru.
Tidak dipungkiri, formulir baru tersebut lebih ramping dan lebih mudah pengisiannya dibandingkan formulir sekarang serta menghilangkan duplikasi dan isian-isian data yang tidak relevan.
SPT Digital
Perbedaan SPT konvensional (dalam bentuk kertas) dengan SPT digital terletak pada cara pengisiannya. SPT konvensional harus diisi dengan cara mengetikkan setiap data secara manual pada formulir yang bersangkutan. Dengan menggunakan program spreadsheet sederhana, dapat dibuat tiruan formulir tersebut dan selanjutnya pengisian data dilakukan dengan komputer.
SPT digital DJP sedikit lebih maju daripada tiruan SPT konvensional itu. Yang membedakannya adalah bahwa SPT digital DJP telah disinkronkan dengan sistem administrasi perpajakan DJP sehingga upload data kedalam server DGP dapat dilakukan secara otomatis. Di luar itu, ragam isian data dan tampilan SPT digital DJP pada layar monitor sama persis dengan SPT konvensional. Dengan demikian, mereka yang sudah terbiasa dengan tiruan SPT konvensional dalam spreadsheet dapat dengan mudah berpindah ke SPT digital DJP.
Mereka yang hanya mengenal SPT konvensional pun cukup belajar ketrampilan dasar pengoperasian komputer.
SPT digital DJP dapat disampaikan kepada DJP dengan dua cara. Pertama, dikenal dengan e-SPT, adalah dengan menyerahkan secara langsung SPT yang telah dikemas dalam alat penyimpan elektronik (disket atau CD) ke KPP setempat. Data upload akan dilakukan saat itu juga di KPP. Kedua, biasa dikenal dengan e-filing, adalah mengirimkan SPT digital secara on-line real time melalui web site milik perusahaan application service provider (ASP) yang ditunjuk DJP.
WP perlu meng-instal terlebih dahulu program e-SPT, yang dapat diperoleh di KPP setempat atau di-down load dari web site DJP (www. pajak.go.id). Untuk e-filing, WP harus minta electronic filing identification number (eFIN) kepada DJP. Selanjutnya, ia harus minta digital certificate kepada DJP yang berfungsi sebagai pelindung kerahasiaan data pada saat pengiriman SPT melalui ASP.
Kesiapan
Sekarang, jumlah KPP seluruh Indonesia melebihi 180. Dari jumlah tersebut baru 10 yang sudah menerapkan dan mewajibkan e-SPT (belum e-Filing) kepada WP terdaftar, yakni KPP-KPP di bawah Kanwil DJP Jakarta Khusus dan KPP WP Besar. Di luar kesepuluh KPP tersebut, mungkin ada beberapa perusahaan yang sudah menerapkan e-Filing dalam rangka mendapatkan persetujuan pemusatan pelaporan PPN dari DJP.
Di atas kertas, perpindahan pelaporan pajak konvensional ke pelaporan digital terlihat mudah. Namun di lapangan bisa terjadi berbagai masalah. Pada tahap awal penerapan sistem ini di 10 KPP tersebut di atas, upload data sering gagal. Pengiriman SPT digital melalui Internet sering macet, sehingga WP harus menitipkan SPT digitalnya dalam disket kepada DJP.
Kondisi sekarang pada 10 KPP tersebut sudah jauh lebih baik. Tetapi tidak tertutup kemungkinan masalah-masalah serupa akan timbul dalam penerapan sistem ini pada KPP-KPP yang lain. Mengingat luasnya cakupan sistem digitalisasi SPT PPN, langkah DJP untuk menunda pemberlakuan KEP 145 adalah tepat.
Sebagai persiapan, pertama-tama DJP harus memastikan keandalan infrastruktur sistem digitalnya. Hal ini meliputi sistem administrasi perpajakan DJP termasuk interkoneksi antar KPP di seluruh Indonesia dan program aplikasi SPT yang dibagikan kepada WP.
Di samping itu, DJP juga harus menempatkan tenaga-tenaga yang terampil dan betul-betul menguasai sistem baru tersebut. Sebagai pengguna, WP juga perlu dipersiapkan dengan baik. Untuk itu DJP perlu melakukan sosialisasi dan uji coba secara luas sebelum meluncurkan sistem ini ke seluruh KPP. Uji coba serupa telah dilakukan DJP sebelum dikeluarkan peraturan yang mewajibkan pelaporan pajak secara digital bagi WP yang terdaftar pada 10 KPP tersebut di atas.
Bagi WP (perusahaan), pajak adalah biaya yang tak terhindari. Pelaporan pajak adalah pertanggung-jawaban pelaksanaan kewajiban pajaknya (memotong, memungut, dan membayar pajak) dan/atau pernyataan klaimnya atas lebih bayar pajak. Bagi DJP, laporan pajak berfungsi sebagai alat pengawasan pelaksanaan kewajiban pajak WP. Kedua belah pihak berkepentingan dengan sistem pelaporan pajak yang sederhana, efektif, dan murah.
Di atas kertas digitalisasi SPT tidak akan menimbulkan kerumitan tetapi justru lebih menguntungkan bagi WP maupun DJP. WP akan terbantu dalam proses komputasi serta menjaga konsistensi dan sinkronitas data SPT. Selain itu, sistem digital akan memotong proses konfirmasi faktur pajak masukan dalam rangka restitusi PPN. Ini berarti layanan restitusi PPN bisa dipercepat.
Sebaliknya, dengan data upload langsung dari SPT WP, DJP tidak perlu lagi mengetik ulang data SPT ke dalam sistemnya. DJP juga bisa mendeteksi lebih dini faktur pajak fiktif yang diklaim sebagai faktur pajak masukan oleh PKP pembeli.
Namun demikian, sesederhanapun sistem baru ini, mungkin masih ada PKP (terutama PKP kecil) yang lebih nyaman melaporkan pajaknya secara konvensional. Oleh sebab itu, akan lebih simpatik bila pemakaian sistem ini cukup dianjurkan, bukan diwajibkan disertai insentif bagi pemakainya, misalnya pengurusan restitusi PPN yang jauh lebih cepat.
Petanyaan yang mengganjal adalah pemakaian jasa perusahaan ASP untuk pengiriman SPT. Masalahnya bukan hanya (tambahan) biaya yang harus ditanggung WP. Tetapi juga jaminan kerahasiaan data WP.
Oleh : Robertus Winarto
Konsultan Pajak di Price WaterhouseCooper
0 Response to "Menuju Digitalisasi Laporan Pajak"
Post a Comment