Perbincangan mengenai rencana penyempurnaan UU Perpajakan menjadi isu yang hangat belakangan ini. Ini, karena UU Perpajakan merupakan produk hukum publik yang dampaknya dirasakan langsung oleh dunia usaha dan sangat berpengaruh terhadap ikilm investasi dan usaha nasional. Pihak DPR selaku mitra pemerintah dalam penyusunan UU perlu mempertimbangkan secara proporsional aspirasi berbagai pihak tersebut, dengan asumsi pemerintah dalam hal ini akan mengedepankan upaya maksimal meningkatkan penerimaan pajak terutama dalam kondisi keuangan negara yang kurang menguntungkan.
Isu mengenai perpajakan bank syariah, telah muncul lama sebelum rencana penyempurnaan UU Perpajakan digulirkan. Permasalahan yang umum terjadi karena kontrak keuangan syariah memiliki sejumlah perbedaan mendasar dibandingkan dengan kontrak keuangan bank konvensional. Produk bank syariah secara umum menerapkan prinsip bagi hasil, jual-beli dan sewa/jasa, karena dalam ekonomi Islam yang menjadi dasar operasional bank syariah, pengenaan bunga pada pemberian pinjaman uang tidak diperkenankan. Sebagaimana kita ketahui sistem perbankan syariah di Indonesia secara formal baru muncul pada 1992, dan berkembang lima tahun terakhir. Sehingga, wajar jika aturan perundang-undangan perpajakan belum secara eksplisit dan khusus mencantumkan aturan bagi transaksi dan produk bank syariah.
Kepatuhan Syariah vs Daya Saing ?
Kekhasan produk bank syariah, yang sering menggunakan terminologi belum banyak difahami sering menimbulkan permasalahan dalam menjelaskan bagaimana implementasi ketentuan pajaknya. Selain itu, dalam produk bank syariah terdapat berbagai ketentuan kesyariahan yang sangat mengedepankan tahapan proses dari transaksi untuk menjamin kesesuaian syariah dari suatu akad.
Sebagai contoh, pada produk pembiayaan murabahah secara ideal dilakukan dua kali proses peralihan hak kepemilikan barang yaitu dari supplier kepada bank dan dari bank kepada nasabah. Walau secara hasil akhir, sama dengan kredit bank konvensional -- yaitu tersedianya barang modal -- yang dibutuhkan nasabah dengan sumber pembiayaan dari bank dan timbul kewajiban membayar oleh nasabah, namun terdapat kaidah kesyariahan yang mengharuskan proses dua tahap tersebut dilakukan. Karena ada hukum fiqh yang mengatur keabsahan jual beli yaitu pemilikan secara sah barang yang akan dipindahtangankan.
Dalam kasus murabahah ini apabila diterapkan ketentuan PPN seperti yang berlaku pada usaha dagang akan terjadi pengenaan pajak pada setiap proses penyerahan barang kena pajak. Bank syariah umumnya terpaksa melakukan penyesuaian alur transaksi, misalnya dengan melakukan pelaksanaan murabahah melalui pendelegasian kewenangan membeli kepada nasabah serta penyesuaian lainnya yang dapat berpotensi tidak terpenuhinya kaidah syariah.
Salah satu sasaran yang ingin dicapai dalam pengembangan bank syariah adalah meningkatkan kualitas layanan, efisiensi operasi dan daya saing, serta pemenuhan kaidah syariah secara konsisten. Peningkatan daya saing, selain dilakukan dari sisi mutu pelayanan dan jaminan ketaatan pada prinsip syariah adalah dengan meningkatkan return investasi dan menurunkan biaya jasa perbankan yang ditawarkan. Jelas bahwa biaya jasa selain dipengaruhi oleh kualitas pengelolaan aset serta efisiensi operasi, juga dipengaruhi oleh beban pajak.
Benchmarking ke Negara Lain
Di Malaysia, sejalan dengan kemajuan pengembangan bank syariah, pemerintah melakukan sejumlah penyempurnaan UU yang dapat menjadi insentif bagi lembaga dan pengguna jasa keuangan syariah. Penyempurnaan secara berkelanjutan dilakukan pada berbagai UU agar tercipta suatu kondisi yang dapat mendorong inovasi produk, menciptakan dayasaing dan peningkatan aktivitas pasar keuangan syariah.
Otoritas pajak dan penyusun perundang-undangan Malaysia pada tahun 1995 melakukan penyempurnaan UU Pajak untuk mengakomodasi kebutuhan lembaga keuangan syariah. UU Pajak yang disempurnakan yaitu: (i) UU Pajak Penghasilan Tahun 1967, (ii) UU Bea Materai Tahun 1949 dan (3) UU Bea Pengambilalihan Aset Properti Tahun 1976. Seperti tertera dalam konsiderannya, amandemen UU tersebut pada dasarnya bertujuan untuk menghindari terjadinya diskriminasi penerapan ketentuan pajak terhadap instrumen keuangan syariah dan mendorong perkembangan industri bank syariah itu sendiri.
Hal yang berharga dan seharusnya dapat menjadi pelajaran bagi Indonesia adalah penyempurnaan UU Pajak oleh negara non muslim untuk memberi ruang gerak luas dan mendukung pertumbuhan industri keuangan syariah, seperti di Inggris, Australia dan Singapura. Di Inggris, didasari semangat menciptakan pasar keuangan yang inovatif dan kompetitif maka otoritas keuangan selalu bersikap akomodatif terhadap berbagai permasalahan yang dihadapi lembaga yang menawarkan jasa keuangan syariah sejauh sejalan dengan sistem yang berlaku secara umum di Inggris.
Sebagai implementasi komitmen tersebut, kementrian keuangan Inggris telah menetapkan Amandemen Stamp Duty Land Tax (SDLT) yang efektif per 1 Desember 2003, di mana secara prinsip bea SDLT yang harus dikeluarkan adalah atas transaksi tanah dan bangunan tidak atas dasar dokumen-dokumen yang menjadi dasar peralihan hak atas tanah dan bangunan.
Dengan demikian maka pajak yang dibayarkan hanya satu kali dalam pembiayaan perumahan secara syariah. Sir Eddy George, mantan Gubernur Bank of England, mengomentari amandemen tersebut bahwa walaupun Menkeu Inggris secara umum dikenal tidak generous dalam memberikan kelonggaran fiskal, namun amandemen itu dinilai merupakan isyarat mengenai perhatian pemerintah terhadap kebutuhan minoritas muslim di Inggris untuk memperoleh fasilitas pembiayaan sesuai dengan keyakinannya.
Apakah obyektivitas seperti itu tidak dapat menggugah otoritas pajak Indonesia, negara muslim terbesar didunia? Peraturan yang dikeluarkan Menkeu Inggris tentang perpajakan bagi lembaga keuangan syariah dinilai suatu sikap lebih mengedepankan substansi/hakikat pembiayaannya dari pada bentuk transaksi itu sendiri.
Pemikiran untuk Penyempurnaan
Momentum penyempurnaan UU Perpajakan yang sedang berlangsung saat ini mestinya dapat dimanfaatkan untuk memasukan substansi hukum yang memberikan kejelasan mengenai perpajakan bagi lembaga dan produk bank syariah. Tentu saja pada UU yang merupakan aturan bersifat high level cukup ditetapkan sejumlah pasal yang menjadi payung hukum yang mencerminakan kebijakan pemerintah terkait pajak bagi bank syariah.
Sedangkan penjelasan dan rinciannya dapat dituangkan dalam peraturan pelaksanaan, sehingga diharapkan dapat tercapai kejelasan aturan dan perlakuan yang fair antara bank syariah dengan bank konvensional. Industri perbankan syariah adalah industri baru bertumbuh dan memiliki semangat untuk berkontribusi secara optimal mendukung pembangunan ekonomi nasional. Sudah sepantasnya kebijakan pemerintah bersifat mendukung perkembangan industri keuangan tersebut.
Negara berpenduduk mayoritas non-muslim telah memberikan contoh tentang obyektifitas dan sikap akomodatif terhadap aspirasi pelaku industri keuangan syariah, tentu merupakan ironi tersendiri bila pemerintah dan parlemen Indonesia tidak peduli akan keresahan pelaku industri dan pengguna jasa bank syariah tentang kepastian hukum dan perlakuan yang adil terhadap industri keuangan syariah.
Oleh : Nasirwan Ilyas
Peneliti Senior pada Direktorat Perbankan Syariah, Bank Indonesia
0 Response to "Visi Syariah dalam Penyempurnaan UU Pajak"
Post a Comment