Kaji Ulang Micro Finance

Microfinance (microcredit atau kredit mikro) seharusnya merupakan wacana yang sangat strategis dalam konteks perekonomian Indonesia. Berbicara tentang microfinance berarti berbicara tentang para pelaku usaha kecil dan mikro. Sementara itu, jumlah unit usaha skala mikro dan kecil ini saja mencapai 90 % dari total unit usaha yang ada di Indonesia yaitu sekitar 30 juta unit usaha. Pada sisi lain, jika saja setiap satu unit usaha tadi minimal dikelola oleh satu jiwa secara full-timer maka telah tercipta pula lapangan kerja sekitar 30 juta. Bayangkan potensinya !.

Bias Paradigma

Menyadari kondisi objektif serta potensi yang dimilikinya oleh karenanya kemudian pemerintah melihat bahwa sektor ini perlu mendapat dukungan politik dan ekonomi yang cukup sehingga bisa bersaing dengan pelaku ekonomi lainnya. Berbagai formulasi kebijakan yang muncul kemudian tentu beranjak dari paradigma ini. Dalam jabaran teknis di lapangan, lahirlah kemudian berbagai bentuk program yang berintikan semangat proteksi dengan berbagai variannya.
Satu yang paling dominan adalah program kredit bersubsidi. Rezim pemerintah pada era 70-an, dengan berbagai pertimbangan dan kondisi perekonomian negara memutuskan bahwa keterbatasan akses modal para pelaku ekonomi kecil ini dapat diatasi dengan memberikan bantuan kredit murah berbunga rendah (ceiling rate-interest) dengan menggunakan anggaran negara (APBN). Dalam sektor pertanian maka dikenallah berbagai pola kredit seperti BIMAS, KUT dan sebagainya. Pada masa bonanza minyak bumi ini, tidak hanya departeman pertanian, bahkan hampir semua departemen saling berlomba menciptakannya dengan jumlah mencapai puluhan, dengan berbagai macam nama yang menjadi ciri khas departemen masing-masing.

Selain dari sisi kemudahan kredit, banyak pula kemudian proteksi-proteksi yang disediakan buat para pelaku usaha kecil dan mikro tadi. Satu kesimpulan yang bisa ditarik adalah, disadari atau tidak, semua pola program tadi pada akhirnya membentuk sebuah ekslufisme entitas ekonomi yang tercerabut dari integrasi sistim perekonomian nasional secara keseluruhan. Ibaratnya, pelaku ekonomi kecil dan mikro adalah special creature yang hidup pada suatu dunia yang penuh keterisolasian dan teralienasikan dari pelaku dan dunia ekonomi pada umumnya.

Dampak Kebijakan

Pertanyaan besarnya adalah dengan berbagai proteksi tersebut terselesaikankah berbagai PR besar yang dihadapi sektor usaha kecil dan mikro ini ?. Dengan berani kita bisa menyatakan bahwa sejarah perekonomian bangsa kemudian telah menjawabnya sendiri dengan huruf besar, TIDAK !. Bahkan secara umum bisa dikatakan program kelolaan pemerintah ini gagal total. Alih-alih memberi solusi terhadap permasalahan yang ada, program ini ternyata menimbulkan permasalahan baru yang menjadi isu besar dan kronis sampai saat ini yaitu KORUPSI !.
Sejak awal, para ekonom sudah memperingatkan bahwa dalam literatur ekonomi manapun, program subsidi dengan berbagai macam bentuknya sangat rawan korupsi.

Menularlah kemudian penyakit berbahaya ini dari kota sampai ke ujung-ujung desa. Dengan kekuasaan yang dipegangnya, mesin-mesin birokrasi kemudian menjual kredit ini kepada masyarakat yang karena dorongan keadaan terpaksa menawar dengan harga lebih (suku bunga lebih tinggi dari ketentuan resmi pemerintah namun masih di bawah suku bunga pasar). Konspirasi para pemburu rente ini kemudian menjadikan pola kredit seperti ini kehilangan ruhnya sebagai sebuah upaya yang di awali niat mulia untuk mengentaskan keterbatasan modal para pelaku usaha kecil.

Melihat hal ini, para pelaku ekonomi kecil tentu berpikir rasional pula. Mereka yang polos dan tidak pernah memperoleh informasi lengkap tentang segala hal yang berkaitan dengan kredit ini, tentu akan berpikir bahwa mark-up rate kredit tadi sebagai aktivitas legal bagi-bagi uang. Sementara yang agak sedikit kritis, akan berpikiran bahwa jika aparat pemerintah saja berani mengkorupsi uang negara, maka mengapa pula kredit pemerintah ini harus dikembalikan ?. Pola pikir seperti inilah yang kemudian membudaya di kalangan sebagai besar masyarakat. Oleh karenanya kita tidak perlu merasa heran, mengapa kemudian semua program kredit berpola subsidi dari pemerintah (menggunakan anggaran negara) yang dikelola birokrasi selalu gagal. Hal ini ditandai dengan rendahnya tingkat pengembalian kredit ini dari masyarakat peminjamnya.

Di sisi lain, serbuan gelontoran kredit murah oleh pemerintah ini, menyebabkan banyak lembaga-lembaga keuangan mikro milik masyarakat terpaksa “tiarap”. Ataupun, jika tetap beroperasi, para pengelolanya disandra menjadi rententir oleh keadaan. Bayangkan saja, untuk tetap hidup dan bersaing secara sehat dengan pemerintah jelas tidak mungkin. Kita tentu memaklumi bahwa selain minimnya dana, tingginya resiko default dan overhead cost yang tinggi, telah menyebabkan rate bunga yang ditetapkan lembaga keuangan mikro ini biasanya lebih tinggi dari pada rate bunga pasar (perbankan dan lembaga keuangan formal lainnya). Sebagai langkah antisipasi untuk menutupi gap profit-cost ini, biasanya pengelola lembaga keuangan mikro tadi selain mengenakan bunga resmi (dengan rate sebanding dengan rate kredit bersubsidi milik pemerintah), juga membebani nasabahnya dengan berbagai biaya siluman yang tidak jelas di kemudian harinya.

Meruntuhkan Mitos

Akhirnya, memburuknya kondisi keuangan negara akibat anjloknya harga minyak mentah dunia pada medio 80-an jualah yang memaksa pemerintah menghentikan sebagian besar dari program tersebut. Lantas, dengan paparan berbagai fakta yang memiriskan di atas, masih layakkah kita berharap akan perbaikan nasib para pelaku usaha skala kecil dan mikro ini ?. Jawaban sederhananya, ADA. Tetapi tentu jabaran teori dan aplikasi teknisnya di lapangan tidaklah sesederhana jawabannya.

Sebenarnya, pengalaman panjang BRI (Bank Rakyat Indonesia) cukuplah menjadi sebuah pelajaran berharga tentang kisah sukses pengelolaan kredit mikro yang tidak dikelola dengan menggunakan anggaran negara dan aparat birokrasi. BRI yang didirikan lebih dari 20 tahun yang lalu, pada hari ini dikenal sebagai salah satu lembaga keuangan dengan segmen pasar ritel mikro (terutama kalangan pelaku usaha kecil dan mikro di daerah pedesaan), yang terbesar dan tersukses tidak saja lagi level domestik, bahkan dunia. Dengan kantor cabang berjumlah lebih dari 3.855 unit dan tersebar di seluruh Indonesia, lebih dari 30 juta nasabah penabung (dengan rata-rata tabungan US $ 108) dan 3,1 juta nasabah pembiayaan dari kalangan pelaku usaha kecil (rata-rata pembiayaan US $ 540), maka perbankan BRI termasuk ke dalam 5 besar bank komersial di Indonesia (Maurer, 2004).

Prestasi besar ini dicapai BRI tanpa subsidi dana sama sekali dari pemerintah dan lembaga donor lainnya. Bahkan dalam proses IPO (Initial Public Offering) tahun 2003 lalu, kelebihan permintaan (oversubscribed) terhadap saham BRI mencapai 13,6 X lipat. Dengan harga perdana saham yang akan dicatatkan pada Bursa Efek Jakarta pada 10 November 2003 itu seharga Rp 875 per saham, maka jika nilai buku BRI per 31 Juni 2003 sebesar Rp 6,2 triliun atau Rp 620 per saham maka harga penawaran saham BRI itu mencapai 1,4 kali nilai bukunya (price to book value/PBV). atau 1,4 kali dari nilai bukunya. Betapa sebuah kepercayaan dan apresiasi yang luar biasa dari publik dan kalangan investor terhadap kinerja BRI !.

Lantas, apa benang merahnya ?. Ternyata, mitos-mitos selama ini yang mengatakan bahwa microfinance sebagai lahan kering (unprofitable) adalah tidak berdasar sama sekali. Oleh karenanya maka fakta ini kemudian juga meruntuhkan berbagai mitos lainnya. Bahwa ternyata, program microfinance tidak harus didekati dengan paradigma proteksi berwujud program subsidi. Sistim dan aktor ekonomi yang terlibat di dalamnya juga tidak harus diisolasi dari masyarakat ekonomi secara keseluruhan. Oleh karenanya, siapapun bisa mengelola microfinance ini dengan baik.

Pengalaman BRI menunjukkannya. Dalam kenyataannya, para pelaku ekonomi kecil dan mikro tidaklah memerlukan segala hak-hak istimewa tadi untuk keberlanjutan usahanya. Bagi mereka cukuplah tersedianya akses bagi mereka terhadap segala sumber daya yang ada dalam waktu yang tepat, jumlah yang cukup dan aturan main yang jelas serta transparan. Itu pulalah yang dijawab oleh BRI selama ini. Kerja keras BRI dalam melakukan bauran inovasi, efisiensi dan transparansi manajemen perbankan menjadi kunci kisah sukses mereka.

Demokratisasi Keuangan

Dengan brand produk KUPEDES dan SIMPEDES, BRI menjadi raja dalam jumlah nasabah (kecil dan mikro). Hal ini menjadi pertanda bahwa penetrasi produk inovatif perbankan mereka dapat diterima dengan baik oleh pelaku usaha kecil dan mikro di pedesaan. Nah, jika saat ini BRI baru mampu melayani sekitar 3 juta nasabah pembiayaan berarti untuk mencover kebutuhan sekitar 30 juta unit usaha kecil dan mikro di Indonesia, maka secara hitung-hitungan sederhana, masih dibutuhkan paling sedikit 9 (sembilan) unit lagi bank sejenis dan sebesar BRI !. Wuih, tak terbayangkan rasanya kalau mimpi ini terwujud. Betapa nanti para pelaku usaha kecil dan mikro akan dimanjakan dengan berbagai keunggulan produk dan pelayanan perbankan sebagai buah dari kompetisi yang sehat dari ke 10 bank sejenis ini.

Wacana strategis seperti ini selayaknya menjadi perhatian bagi pemerintah untuk ke depan. Dari sisi supply, sudah saatnya para pelaku usaha skala kecil dan mikro ini di akui eksistensinya sebagai bagian dari pelaku ekonomi keseluruhan dan oleh karenanya juga berhak memperoleh pelayanan dari satu sistem ekonomi yang sama. Hanya dengan jalan ini, kebutuhan mereka terhadap segala sumber daya secara tepat dan pasti sebagai syarat keberlanjutan usahanya dapat terpenuhi. Sementara itu dari sisi demand, potensi pelaku usaha kecil dan mikro yang melimpah ini dapat menjadi sebuah peluang usaha yang sangat menjanjikan bagi para pelaku ekonomi lainnya. Tentu, hanya mereka yang terbaiklah yang berhasil.

Kita semua berharap bahwa di awal tahun 2006 ini perubahan paradigma dari sekedar bagaimana menyediakan microfinance menjadi bagaimana mempersiapkan financial systems for the poor (Littlefield 2004), dapat menjadi langkah awal yang manis dari demokratisasi pada sektor keuangan dan ekonomi. Karena mereka, pelaku usaha kecil dan mikro, juga adalah pemilik sah negeri ini dan karenanya juga berhak atasnya. Wallahu’alam bis shawab.

Pegiat pada Yayasan GARDA ERA,
Dosen Fak. Syari'ah IAIN Imam Bonjol Padang


0 Response to "Kaji Ulang Micro Finance"

Followers