Kredit usaha kecil berbasis penjaminan pemerintah senilai Rp1,45 triliun kemarin diluncurkan. Program ini diharapkan membuka akses usaha kecil yang feasible tapi bankable mendapat pinjaman.
Pinjaman bank yang bisa digelontorkan pun diproyeksikan tidak kecil. Dengan gearing ratio 10 kali, perbankan mampu menggelontorkan pembiayaan hingga Rp14,5 triliun.� Mampukah UKM menyerapnya?
Masalahnya hanya dengan program penjaminan tidak berarti akses pinjaman terbuka, karena masih banyak faktor penghambat lain, seperti ketiadaan laporan keuangan usaha kecil.
Hal ini karena ketidakmampuan pengusaha kecil menyusun laporan keuangan serta ketiadaan standar akuntansi keuangan untuk usaha kecil menengah. Laporan keuangan merupakan syarat pemberian pinjaman bank.
"Kami kerap menyiasatinya dengan pendampingan, termasuk membantu mereka membuat laporan keuangan," ujar Hana Wijaya, Direktur Bank Syariah Mandiri.
Pendampingan jelas bukan tanpa biaya. Lalu siapa yang menanggung biaya? Padahal, perbankan yang sudah fokus ke UKM seperti BSM perlu sumber daya 3-18 kali lipat dari biaya korporasi untuk membiayai usaha kecil.
Hal ini salah-satunya yang membuat UKM tak lagi bankable. Apalagi, bila perbankan terpaksa kriteria dan syarat penyaluran kredit yang sama dengan usaha besar karena ketiadaan SAK UKM.
Ketua Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Ali Said mengatakan standar akuntansi keuangan (SAK) UKM harus berbeda dengan SAK non-UKM.
"Ini infrastuktur yang diperlukan agar UKM menjadi layak dengan peraturan perbankan (bankable)," ujar Ali Said, yang juga Ketua Tim Pokja I Penyusunan SAK UKM.
Pembedaan SAK itu didasarkan karakter khas UKM dibandingkan usaha besar. Contohnya, transaksi yang tak serumit usaha besar, seperti aktivitas lindung nilai, akuisisi dan merger atau penggabungan usaha.
Selain itu, operasi bersifat lokal dan jarang melakukan bisnis lintas negara, tidak mengeluarkan instrumen keuangan untuk memperoleh dana dari publik.
Karakter laporan keuangan yang dibutuhkan UKM juga berbeda dengan usaha besar, meski sama-sama sebagai sumber informasi untuk membantu pengambilan keputusan.
Perbedaan itu a.l. Pertama, UKM kurang memerlukan informasi kinerja keuangan sebagai pertanggung-jawaban manajemen kepada mereka, karena umumnya pemilik adalah pengelola.
Kedua, UKM mengunggulkan keandalan dan kemudahan penyusunan laporan dari relevansi informasi, sehingga secara default laporan keuangan menggunakan konsep nilai historis dibandingkan konsep nilai wajar yang cenderung digunakan dalam penyusunan SAK.
Usaha besar juga tidak mudah menerapkan SAK berbasis nilai wajar karena perlu kompetensi, kecakapan dan integritas profesional yang tinggi serta ketersediaan infrastruktur pendukung, seperti referensi pasar aktif yang mudah dan tidak memerlukan biaya material dan profesi pendudung, seperti aktuaris dan penilai.
Ketiga, tidak ada kepentingan publik signifikan atas UKM sehingga informasi keuangan lebih banyak untuk kepentingan internal. "SAK ini harus sesuai kondisi dan situasi UKM, yang berbeda secara inheren dengan usaha besar," ujar Ali Said.
Kehadiran SAK ini tak sekadar membuka akses pembiayaan UKM tetapi juga menghidupkan pasar jasa audit dan akuntan.
Jasa Akuntan
Anggota Dewan Standar Akuntansi Keuangan Ikatan Akuntan Indonesia (DSAK-IAI) Jan Hoesada memproyeksikan sektor usaha kecil mampu membayar jasa audit dan akuntan hingga Rp10 triliun per tahun.
Jan Hoesada, yang juga mantan Sekretaris I IAI periode 1994-1998, menggunakan asumsi konservatif jumlah usaha kecil di Indonesia yang hanya 10 juta unit.
"Dalam jangka lima tahun mereka semua diharapkan membuat laporan keuangan. Dengan tarif jasa audit dan laporan keuangan Rp5 jutaan, maka setahun pembayaran [2 juta unit UKM] mencapai Rp10 triliun," ujarnya.
Jan berpendapat tarif tersebut tidak terlalu besar mengingat UKM mendapatkan kredit hingga Rp500 juta. Sementara itu, waktu konsultasi 300 jam perlu diperpendek menjadi hanya 1 minggu.
Selain itu tidak ada keharusan bagi UKM untuk membaca standar, tapi diciptakan produk atau sistem gratis bagi mereka. "Misalnya dibiayai dengan APBN atau dana sponsor seperti Bank Indonesia, sehingga memungkinkan mereka down-load gratis."
Terkait dengan SAK UKM, International Financial Standards Board pada Februari 2007 merilis draf International Financial Reporting for Small Medium Entreprise (IFRS for SMEs).
Draf IFRS for SMEs ini dinilai terlalu komplek meski kehadirannya sangat membantu rencana penyusunan SAK UKM yang dimotori IAI dan Hipmi.
"Draf IFRS for SMEs terlalu kompleks, kita bisa menyesuaikan menjadi lebih fleksibel atas pas [persis]," ujarnya dalam seminar Standar Akuntasi dan Laporan Keuangan sebagai Sarana UKM Mengakses Dana Bank.
Apalagi, kehadiran SAK UKM memang sesuatu yang lama dinantikan tapi sampai saat ini tak kunjung terbit. Menurut Wibisana, DSAK-IAI telah membentuk Tim Kerja Penyusunan SAK UKM pada 2 Juli 2007.
Salah satu hasil Tim Kerja DSAK-IAI ini adalah menerbitkan buku terjemahan Exsposure Draft IFRS for SMEs. Diharapkan, pada 2008 SAK UKM Indonesia bisa diterbitkan. (fatkhul.maskur@bisnis.co.id)
Oleh Moh. Fatkhul Maskur
Wartawan Bisnis Indonesia
1 Response to "Menanti Penerbitan SAK UKM"
SAK untuk UKM? kok aneh? apakh tidak sama dengan SAK biasanya? bukankah SAK itu standar?
Post a Comment