6. Kesimpulan dan Rekomendasi
Konsep kemandirian, kompetensi inti kekeluargaan dan sinergi produktif-intermediasi-retail merupakan substansi pengembangan koperasi sesuai realitas masyarakat Indonesia yang unik. Meskipun perkembangannya saat ini banyak tereduksi intervensi kebijakan dan subordinasi usaha besar. Diperlukan kebijakan, regulasi, supporting movement (bukannya intervention movement), dan strategic positioning (bukannya sub-ordinat positioning) berkenaan menumbuhkan kembali konsep kemandirian, kekeluargaan dan sinergi produktif-intermediasi-retail yang komprehensif. Paling penting adalah menyeimbangkan kepentingan pemberdayaan ekononomi koperasi berbasis pada sinergi produktif-intermediasi-retail sesuai Ekonomi Natural model Hatta. Sinergi produktif-intermediasi-retail harus dijalankan dalam koridor kompetensi inti kekeluargaan. Artinya, pengembangan keunggulan perusahaan berkenaan inovasi teknologi dan produk harus dilandasi pada prinsip kekeluargaan. Individualitas anggota koperasi diperlukan tetapi, soliditas organisasi hanya bisa dijalankan ketika interaksi kekeluargaan dikedepankan.
Agenda mendesak.
Pertama, menemukan bentuk konkrit kompetensi inti kekeluargaan. Sebagai komparasi mungkin diperlukan parameter usulan Prahalad dan Hamel (1990) untuk mengidentifikasi kompetensi inti kekeluargaan versi koperasi. Kompetensi inti memang berasal dari sumber daya dan kemampuan organisasi, namun tidak semua sumber daya dan kemampuan merupakan kompetensi inti. Meskipun tidak menutup kemungkinan adanya perluasan (ekstensi) model tiga parameter tersebut. Kedua, diperlukan pemacu bentuk koperasi secara seimbang.
Koperasi produktif perlu digalakkan, sehingga kualitas, enterpreneurship, kemandirian, jumlah dan keanggotaannya memiliki keseimbangan dengan bentuk koperasi lain, seperti koperasi fungsional, koperasi retail maupun jasa (intermediasi). Bagi koperasi produktif lama perlu kebijakan mendesak untuk pemberdayaan agar tidak terjadi deklinasi usaha. Perlu juga menumbuhkan pengusaha-pengusaha baru koperasi di bidang produktif, seperti pertambangan, energi, industri, otomotif, industri keperluan rumah tangga (sabun, sikat gigi, pasta gigi, shampoo, dll), teknologi pertanian, dll.
Agenda menengah.
Beberapa tahun ke depan perlu merancang pemberdayaan koperasi yang lebih mandiri. Artinya, saatnya memikirkan lebih konkrit mekanisme yang menyentuh langsung pada sektor riil. Beberapa hal dapat dilakukan, pertama, menemukan formulasi mikro ekonomi untuk semua. Mekanisme gotong-royong bukan hanya sebagai bentuk idealisme, tetapi perlu dielaborasi lebih jauh sebagai inti pendekatan mikro yang berdampak pada ekonomi makro. Kedua, menemukan dari bawah mekanisme berdagang, berinvestasi, produksi dan melakukan pemasaran bagi ekonomi rakyat secara luas dan berkeadilan. Ketiga, mengembangkan akhlak bisnis ekonomi rakyat berbasis kekeluargaan ala Indonesia. Keempat, menggali dan mengangkat kearifan lokal dalam berekonomi. Konsekuensinya adalah menelusuri mekanisme manajemen, administrasi dan keuangan/akuntansi ekonomi rakyat sesuai realitas Ke-Indonesia-an. Kelima, mensinergikan mikro dan makro ekonomi atas dasar kepentingan ekonomi, sosial, lingkungan untuk semua
Agenda jangka panjang.
Kenyataan program-program bersifat pembiayaan, akses perbankan, aspek teknologi dan segala hal tersebut masih berkaitan dengan materi; pemberdayaan, profesionalisme, pelatihan, kemitraan, pasar bersama dan lain sebagainya masih berkaitan dengan anthropocentric oriented. Demikian pula perjuangan ekonomi kerakyatan berbasis sosial, berbasis masyarakat Indonesia, perluasan bentuk demokrasi ekonomi semua juga tidak lepas dari nuansa sosialisme model baru yang juga tetap berpola materialism and anthropocentric oriented.
Atau lebih jauh dari itu semua, apakah prioritas pemberdayaan dan penguatan ekonomi rakyat bukan hanya “materialism and anthropocentric oriented”? Bila kita angkat pada hal yang lebih normatif, bentuk pemberdayaan terbatas pada materialitas, kepentingan ego manusia, baik pribadi maupun kelompok mungkin tidak layak lagi dikumandangkan. Pemberdayaan holistik baik materialitas, egoisme diri, sosial harus dikembangkan dan diperluas lebih jauh. Bahkan harusnya juga melampaui itu semua (Mulawarman 2007).
Ditegaskan Mulawarman (2007) bahwa Pasal 33 UUD 1945 tidak dapat dibaca hanya sebagai salah satu penggalan kepentingan ekonomi masyarakat Indonesia. Kemakmuran ekonomi masyarakat bukan hanya perwujudan pasal 33 UUD 1945. Pasal 33 hanyalah salah satu bagian dari seluruh kehendak rakyat Indonesia yang holistik yaitu menginginkan kesejahteraan sosial, ekonomi, politik, budaya, lahir dan batin, serta mewujudkan harkat martabat manusia berke-Tuhan-an. Keluar dari Materialisme Ekonomi versi Amerika juga seharusnya tidak serta merta menyetujui antitesisnya seperti Marxisme, atau yang lebih “soft” misalnya gerakan Materialisme Sosialis maupun Sosialisme Baru. Menjadi benarlah pesan HOS Tjokroaminoto: “keluar dari kapitalisme menuju sosialisme tidaklah berguna, karena keduanya masih menuhankan benda. Ekonomi yang benar adalah ekonomi untuk rakyat, ekonomi berorientasi kebersamaan, bermoral, memiliki tanggung jawab sosial dan paling penting tanggungjawab pada Tuhan.” Tetapi, religiusitas ekonomi rakyat bukanlah religiusitas gaya spiritual company yang menggunakan spiritualitas untuk kepentingan keuntungan ekonomi atau apapunlah. Ekonomi rakyat haruslah utuh dan kokoh bersandar pada kepentingan jangka panjang, Jalan Tuhan. Insya Allah.
Sumber : http://ajidedim.wordpress.com/?p=222
Habis
0 Response to "Mengembangkan Kompetensi Bisnis Koperasi - Bagian 5"
Post a Comment