Mendengar kata usaha kecil dan menengah, terlintas di benak kita adalah usaha kecil yang tidak dikelola secara maksimal dan lebih mengutamakan modal pribadi. Kilasan pikiran seperti itu kemungkinan … besar, benar adanya. Sektor usaha kecil dan menengah ini mampu memberikan kontribusi terhadap produk domestik bruto sebesar 56 persen.
Persentase jumlah usaha kecil dan menengah (UKM) terhadap jumlah badan usaha di Indonesia sangat besar, yaitu sekitar 99 persen.
Berdasarkan data tahun 2006, pertumbuhan jumlah sektor UKM mengalami penurunan, yang hanya 3,88 persen, jika dibandingkan dengan pertumbuhan usaha besar, 5,77 persen.
Gambaran ini cukup memprihatinkan mengingat sektor UKM memiliki potensi penyerapan tenaga kerja yang sangat besar.
Data yang dipublikasikan oleh Kementerian Negara Koperasi dan UKM menunjukkan bahwa tenaga kerja yang bekerja pada sektor UKM mencapai 96 persen (2000-2006) relatif terhadap total tenaga kerja yang tersebar di sembilan sektor ekonomi Indonesia.
Namun, pertumbuhan penyerapan tenaga kerja oleh UKM dalam periode yang sama masih lebih rendah, yaitu sebesar 17 persen daripada sektor usaha besar, yang mencapai 26 persen.
Lalu apa yang dapat dilakukan guna pengembangan UKM di Indonesia? Pertanyaan menarik yang selalu terlontar, tetapi sulit mencari pemecahannya.
Agar dapat berkembang, suatu usaha jelas membutuhkan permodalan yang baik dan memadai. Hal ini pula yang berlaku pada UKM.
Komposisi modal UKM biasanya didominasi oleh modal sendiri atau pribadi, dengan jumlah terbatas. Dalam rangka pengembangan bisnis dan pangsa pasar, UKM jelas membutuhkan pembiayaan yang relatif besar.
Di sinilah salah satu permasalahan utama, mengapa UKM sulit â€naik kelas†menjadi usaha besar, yaitu terganjal masalah pembiayaan. Sebenarnya UKM memiliki banyak pilihan pendanaan, seperti kredit perbankan ataupun suntikan dana modal ventura.
Untuk kredit perbankan, UKM cukup tertolong dengan aturan Bank Indonesia (BI) yang mewajibkan bank menyalurkan kredit hingga Rp 20 miliar, sesuai dengan klasifikasi bank.
Namun, sepertinya, jalur pendanaan ini belum dimanfaatkan pihak UKM secara maksimal. Hal ini terlihat dari data persentase total kredit UKM terhadap total kredit yang dikucurkan perbankan pada kuartal pertama tahun 2007, tercatat sebesar 12,47 persen, atau turun dibandingkan kuartal kedua yang 2006 sebesar 13,44 persen.
Fakta lain juga menunjukkan bahwa walaupun nilai kredit yang disalurkan perbankan ke sektor UKM semakin meningkat, tetapi pada tahun belakangan ini pertumbuhannya justru semakin menurun.
Pertumbuhan total kredit UKM pada kuartal kedua tahun 2005 tercatat sebesar 28 persen (year on year). Pertumbuhan total kredit UKM ini mengalami penurunan pada kuartal kedua tahun 2007 menjadi 9,73 persen.
Kondisi lain terjadi dengan aliran dana modal ventura, dalam bentuk penyertaan modal untuk jangka waktu tertentu.
Walaupun modal ventura bersifat kemitraan dan menawarkan kemudahan yang lebih baik bagi UKM, masalah selanjutnya justru muncul dari sisi investor.
Para investor masih berpikir dua kali untuk meletakkan dananya di UKM, khususnya usaha yang belum berbentuk perseroan terbatas.
Imbasnya, dunia UKM kembali harus kembali gigit jari menunggu datangnya angin segar berupa dana berbiaya murah.
Sebenarnya selain sejumlah alternatif pendanaan di atas, kita dapat berkaca pada negara-negara maju untuk mengembangkan sektor keuangannya.
Beberapa negara maju, seperti Inggris dan Perancis, telah mengenalkan suatu bentuk inovasi keuangan dan pembiayaan, yaitu whole business securitization (WBS).
Contoh instrumen ini adalah instrumen St Erik ,yang didukung dengan aliran kas pendapatan social housing. WBS dilakukan tidak hanya terfokus pada satu jenis aset yang menghasilkan aliran kas, melainkan seperangkat aliran kas yang dihasilkan oleh operasi harian bisnis tersebut. Model sekuritisasi ini salah satu varian baru konsep secured loan.
Dalam praktiknya, WBS lebih kompleks daripada mortgage backed secutities (MBS) atau asset backed securities yang lain.
Perusahaan induk melakukan isolasi terhadap aset produktif (revenue-producing assets) dan menjualnya ke sebuah perusahaan khusus (special purpose vehicle/SPV).
SPV ini kemudian menerbitkan obligasi yang berbasiskan aset itu dan menyalurkan dananya kepada perusahaan induk.
Aset produktif ini dikelola secara aktif, biasanya melalui perjanjian antara perusahaan induk dan SPV guna menciptakan aliran kas yang memberikan nilai. Dalam proses ini, badan pemeringkat berperan menganalisis tingkat kestabilan pendapatan aset.
Pertanyaan selanjutnya yang muncul adalah apakah praktik WBS tersebut dapat diimplementasikan pada UKM di Indonesia. Sebuah pertanyaan kritis yang mendorong pengembangan konsep WBS bagi UKM.
Terkait dengan pengembangan UKM di Indonesia, praktik WBS ini memerlukan sejumlah penyesuaian aplikasi. Penyesuaian pertama terkait dengan jumlah UKM yang dikelola SPV.
Untuk UKM Indonesia, sebuah SPV dapat mengelola lebih dari satu UKM, dan diusahakan berada dalam jenis industri yang sama (cluster).
Sistem Cluster
Keuntungan dari sistem cluster ini antara lain, adalah pengelolaan operasi UKM dan fleksibilitas pemasaran produk yang lebih baik.
Isolasi aset produktif oleh SPV akan memaksa UKM berjalan lebih efisien dan menguntungkan. SPV akan berusaha keras mengelola aset produktif, guna pemenuhan kewajiban kepada investor, yaitu pembayaran pokok pinjaman serta bunga sesuai dengan yang dijanjikan.
UKM yang melakukan pembiayaan melalui WBS secara tidak langsung dipaksa untuk berkembang. Di sisi lain, UKM juga tidak perlu pontang-panting mencari sumber pendanaan karena SPV telah dapat menyediakannya melalui penerbitan surat utang.
Penyesuaian selanjutnya terkait dengan bentuk usaha SPV itu sendiri. Bentuk SPV yang pada awal konsep merupakan bagian terpisah dari perusahaan induk dimodifikasi menjadi sebuah institusi pemerintah.
Peran pemerintah melalui SPV tidak hanya mengelola aset, tetapi juga memberikan penjaminan investasi. Penjaminan investasi ini dapat diterapkan terhadap sebagian nilai investasi (pokok investasi atau bunga investasi).
Peran aktif pemerintah dalam menjamin sebagian nilai investasi diharapkan melindungi para investor, sekaligus mengundang lebih banyak pemodal berpartisipasi dalam pengembangan UKM.
Perbedaan model SPV dibandingkan bank pemerintah berhubungan dengan fokus usaha kelolaan dan instrumen surat utang yang diterbitkan.
SPV memfokuskan diri memberikan pinjaman dan mengelola aset UKM dari industri tertentu, berbeda dengan perbankan yang memberikan pinjaman kepada berbagai sektor usaha UKM.
Selain itu, investor dapat mengetahui arah dana investasinya karena surat utang yang diterbitkan lebih spesifik pada industri tertentu.
Tentunya pengelolaan SPV yang profesional serta dukungan tata kelola perusahaan yang baik menjadi salah satu kunci keberhasilan proses ini.
Namun, realisasi proses WBS ini bukan berarti berjalan tanpa hambatan. Kondisi UKM di Indonesia yang masih dipenuhi keterbatasan menjadi salah satu sandungan besar WBS.
Keterbatasan pertama terkait dengan masih lemahnya sistem pencatatan dan pengendalian UKM. Tanpa adanya sistem akuntansi yang baik, proses penilaian aset produktif dan kestabilan aliran kas usaha menjadi sulit dilakukan.
Efeknya, para investor enggan mengucurkan investasinya ke dalam instrumen utang WBS yang diterbitkan.
Laporan keuangan UKM
Hingga saat ini keterbatasan ini mulai diatasi dengan langkah Ikatan Akuntan Indonesia yang akan mengadopsi standar pelaporan keuangan internasional (IFRS) mengenai small medium entity (SME).
Harapannya, dengan adanya standar akuntansi ini, UKM mampu membuat laporan keuangan yang dapat dipercaya, yang berguna untuk mengakses dana eksternal.
Selain itu, pendidikan dan pelatihan manajerial kepada pengusaha UKM juga harus diberikan guna meningkatkan kemampuan mengelola usahanya.
Keterbatasan selanjutnya terkait dengan tingginya risiko operasi dalam WBS. Risiko ini muncul karena penerbitan instrumen WBS dijamin dengan kestabilan aliran pendapatan aset, maka pembayaran kewajiban kepada investor sangat bergantung pada seberapa baik aset perusahaan tersebut dikelola.
Dapat disimpulkan bahwa proses WBS terkait dengan risiko operasi yang tinggi. Isu lainnya adalah proses WBS yang membutuhkan biaya administrasi yang relatif besar. Contohnya, biaya hukum, rating, sistem, dan manajemen.
UKM dan pemerintah selaku regulator yang terlibat dalam WBS harus bijak mempertimbangkan aspek manfaat dan biaya. Gambaran di atas menunjukkan bahwa WBS dapat menjadi sebuah alternatif pendanaan lain yang cukup menjanjikan bagi UKM pada masa datang.
Kemungkinan penerapannya membutuhkan kajian mendalam, regulasi atau perangkat hukum yang memadai, serta sistem manajemen dan akuntansi yang efektif.
Realisasinya juga sangat bergantung pada kemauan dan kemampuan kita semua untuk mengembangkan UKM.
Oleh : Elvira Tjandrawinata Head of Equity Research Danareksa
1 Response to "UKM Mampu Menyerap Tenaga Kerja Besar"
Setuju. UKM merupakan benteng terakhir perekonomian bangsa
Post a Comment