4. Metodologi Penelitian : Beyond Strukturalism
Pengembangan bisnis koperasi dalam penelitian ini menggunakan metodologi Beyond Strukturalism, diadaptasi dari metodologi Hiperstrukturalisme yang dikembangkan Mulawarman (2006). Beyond Strukturalism memiliki dua tahapan, pertama, pengembangan metodologi, dan kedua, penerapannya berbentuk metode penelitian. Suriasumantri (1985, 328) menjelaskan bahwa metodologi penelitian adalah “pengetahuan tentang metode” yang dipergunakan dalam penelitian. Berdasarkan hal tersebut pengembangan metodologi dalam penelitian ini merupakan proses pendefinisian, penjelasan, dan pembuatan kerangka umum dari metode yang akan digunakan.
Salah satu yang harus ditentukan pada metodologi penelitian adalah metode dan tujuan penelitian (Suriasumantri 1985, 328). Setelah dilakukan pengembangan metodologi penelitian, tahap kedua adalah menerjemahkan kerangka umum metode dalam prosedur penelitian secara eksplisit dan sistematis. Metode sendiri menurut Senn dalam Suriasumantri (1985, 119) merupakan suatu prosedur atau cara mengetahui sesuatu yang mempunyai langkah-langkah sistematis. Dengan demikian yang dilakukan di sini adalah penyusunan prosedur metodologi yang telah dikembangkan pada tahap pertama.
4.1. Tahap Pertama: Rumusan Umum Metodologi
Beyond Structuralism dijalankan dengan cara integrasi strukturalisme[1] dan postrukturalisme[2]. Strukturalisme digunakan, pertama, untuk mendalami interkoneksi unsur-unsur pembentuk realitas; kedua, mencari struktur di balik unsur-unsur maupun di balik realitas empiris pembentuk unsur; ketiga, menemukan binary opposition unsur-unsur realitas; dan keempat, menggali substansi unsur-unsur realitas secara sinkronis di lapangan pada rentang waktu yang sama (bukan diakronis/perkembangan antar waktu).
Postrukturalisme digunakan untuk melampaui strukturalisme dalam melihat realitas tersembunyi di luar unsur dan realitas, mulai dari tulisan (writing), jejak (trace), perbedaan sekaligus penundaan tanda (differance), serta hasil penundaan (arche-writing). Postrukturalisme juga melakukan proses penggalian unsur-unsur realitas melalui konteks integasi sinkronis-diakronis. Integrasi yang dimaksud adalah penggalian antropologis tidak hanya berdasarkan rentang waktu yang sama (sinkronis) tetapi juga perkembangan antar waktu (diakronis). Teknisnya, penggalian integrasi empiris dilakukan saling silang makna aktivitas bisnis koperasi saat ini (sinkronis) maupun masa lampau seperti ide koperasi dari Hatta (diakronis).
4.2. Tahap Kedua: Bentuk Metode Sebagai Turunan Metodologi
Metode penelitian menggunakan “ekstensi” Strukturalisme dan Postrukturalisme. Ekstensi merupakan perluasan keduanya agar dapat digunakan secara empiris di lapangan. Ekstensi empiris menggunakan metodologi Constructivist Structuralism (Wainwright 2000) versi Bourdieu (1977; 1989).
Constructivist Structuralism (selanjutnya disingkat CS) selalu menginginkan titik temu teori dan praktik yang mungkin (Mahar et al. 2005) melibatkan field (ruang sosial) dan habitus (perilaku individu tanpa sadar) (Bourdieu 1977). Unsur penting CS bahwa tiap individu dalam realitas (practice) menjalankan produk sosial (field) sekaligus dipengaruhi kerangka pikir (habitus) dan membentuk perilaku individu (Bourdieu dan Wacquant, 1992).
Menurut Bourdieu setiap individu dalam realitas (practice) tidak semata-mata menjalankan produk sosial tetapi juga dipengaruhi kerangka pikir dan menterjemah dalam perilaku individu (Bourdieu dan Wacquant, 1992). Habitus dapat dikatakan sebagai “blinkering perception of reality” (Fowler 1997 dalam Wainwright 2000, 10). Artinya, habitus lanjut Takwin (2005, xviii-xix) habitus merupakan hasil pembelajaran lewat pengalaman, aktivitas bermain dan pendidikan masyarakat dalam arti luas. Pembelajaran terjadi secara halus (disebut doxa oleh Bourdieu), tidak disadari dan tampil sebagai hal wajar, sehingga seolah-olah sesuatu yang alamiah, seakan-akan terberi alam.
Proses rekonstruksi bisnis koperasi melalui “ekstensi” Constructivist Structuralism dilakukan melalui habitus, field, capital dan practice. Artinya, fase ini merupakan proses empiris untuk membuktikan bahwa sebenarnya terdapat nilai-nilai yang dapat dijadikan source koperasi sesuai nilai mereka sendiri (habitus) secara material-batin-spiritual.
Proses penelitian dilakukan, pertama, penggalian data tertulis baik akademis maupun kegiatan perkoperasian. Kedua, pengamatan, wawancara dan pendalaman makna dan simbol dari informan yang melakukan aktivitas bisnis koperasinya. Informan penelitian yaitu, pertama, Pak Sulaiman, salah satu reporter PIP; kedua, Pak Naryo, pengurus Dekopinda salah satu kota di Jawa Timur; Pak Aris, pengurus koperasi primer di Kediri; keempat, Pak Rahmat pengurus BMT di salah satu kota Jawa Tengah; kelima, Pak Budiman manajer salah satu koperasi serba usaha di Jawa Timur.
Sumber : http://ajidedim.wordpress.com/?p=220
Bersambung ke Bagian 4
0 Response to "Mengembangkan Kompetensi Bisnis Koperasi - Bagian 3"
Post a Comment