Mengembangkan Kompetensi Bisnis Koperasi - Bagian 1

Mengembangkan Kompetensi Bisnis Koperasi - Bagian 1

1.  Pendahuluan

Perkembangan ekonomi dunia saat ini merupakan saling pengaruh dua arus utama, yaitu teknologi informasi dan globalisasi. Teknologi informasi secara langsung maupun tidak langsung kemudian mempercepat globalisasi. Berkat teknologi informasi, perjalanan ekonomi dunia makin membentuk ”dirinya” yang baru, menjadi Kapitalisme Baru berbasis Globalisasi (Capra 2003; Stiglitz 2005; Shutt 2005). Perkembangan ekonomi inilah yang biasa disebut Neoliberalism. Gelombang besar neoliberalism merupakan puncak pelaksanaan 10 kebijakan Washington Consencus tahun 1989.

Neoliberalisme saat inipun telah merasuki hapir seluruh sistem perekonomian Indonesia. Bentuk neoliberalisme tersebut dapat dilihat dari bentuk kepatuhan terhadap mekanisme pasar dengan ”inflasi sehat” menurut ukuran makro ekonomi. Neoliberalisme juga dilakukan melalui deregulasi dan liberalisasi/privatisasi kelembagaan. Keduanya berujung integrasi dan liberalisasi perdagangan Indonesia dalam lingkaran global, lintas batas negara-negara.

Di sisi lain, Indonesia setelah memasuki era reformasi melalui amandemen UUD 1945 tetap mengusung asas demokrasi ekonomi. Meskipun demokrasi ekonomi yang dimaksud malah menjadi kabur setelah adanya penambahan dua ayat (ayat 4 dan 5) dalam pasal 33 UUD 1945. Dijelaskan Mubyarto (2003) bahwa pikiran di belakang ayat baru tersebut adalah paham persaingan pasar bebas atau neoliberalisme.

Kekeliruan lebih serius dari amandemen keempat UUD 1945 adalah hilangnya kata ”sakral” koperasi sebagai bentuk operasional ekonomi kerakyatan atau demokrasi ekonomi yang sebelumnya tercantum dalam penjelasan pasal 33 UUD 1945. Hilangnya kata koperasi, telah menggiring bentuk usaha sesuai pasal empat, yaitu diselenggarakan dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Efisiensi berkeadilan menurut Mubyarto (2003) jelas memiliki kontradiksi sekaligus bernuansa liberalisme.

Bagaimana koperasi sendiri? Apakah sudah siap dengan kenyataan sejarah seperti itu? Apakah koperasi memang telah melakukan ”strategic positioning” sebagai wadah anggotanya ”bekerjasama” untuk kesejahteraan bersama anggota serta masyarakat, bukannya bekerja ”bersama-sama” untuk kepentingan masing-masing anggota, atau malah manajer dan atau pengurus koperasi? Apakah koperasi juga telah sesuai impian the founding fathers, menjadi sokoguru perekonomian Indonesia?

Apakah jawabannya adalah tekad Dekopin sebagai wadah berkumpulnya koperasi-koperasi dengan Pencanangan Program Aksi Dewan Koperasi Indonesia (Dekopin 2006)? Atau dengan salah satu Visi Pembangunan KUKM Kantor Menteri Negara Koperasi dan UKM berkenaan dengan realisasi 70.000 Koperasi Berkualitas tahun 2009?

Banyak sudah program-program prestisius pengembangan koperasi. Koperasi juga tak kunjung selesai dibicarakan, didiskusikan, “direkayasa”, diupayakan pemberdayaan dan penguatannya. Pendekatan yang dilakukan mulai dari akademis (penelitian, pelatihan, seminar-seminar, sosialisasi teknologi), pemberdayaan (akses pembiayaan, peluang usaha, kemitraan, pemasaran, dll), regulatif (legislasi dan perundang-undangan), kebijakan publik (pembentukan kementrian khusus di pemerintahan pusat sampai dinas di kota/kabupaten, pembentukan lembaga-lembaga profesi), sosiologis (pendampingan formal dan informal), behavior (perubahan perilaku usaha, profesionalisme) bahkan sampai pada pendekatan sinergis-konstruktif (program nasional Jaring Pengaman Nasional, pengentasan kemiskinan, Pembentukan Lembaga Penjaminan, Pembentukan Dekopin dari daerah sampai nasional).

1.1. Permasalahan

Tetapi ternyata, seluruh ”treatment” tersebut sebenarnya tidak menyelesaikan beberapa masalah mendasar koperasi. Pertama, seperti diungkapkan Soetrisno (2002) bahwa ciri utama perkembangan koperasi di Indonesia adalah dengan tiga pola penitipan kepada program, yaitu pembangunan sektoral seperti koperasi pertanian, koperasi desa, KUD; (2) lembaga-lembaga pemerintah dalam koperasi pegawai negeri dan koperasi fungsional lainnya; serta (3) perusahaan negara maupun swasta berbentuk koperasi karyawan. Tiga pola tersebut menurut beliau berakibat prakarsa mayarakat kurang berkembang, kalaupun muncul tidak diberi tempat sebagai mana mestinya.

Masalah kedua, koperasi, lanjut Soetrisno (2002) juga dikembangkan untuk mendukung program pemerintah berbasis sektor primer dan distrubusi yang memberikan lapangan kerja terbesar bagi penduduk Indonesia. Ketika program tersebut gagal, maka koperasi harus memikul beban kegagalan program. Sementara koperasi yang berswadaya praktis tersisihkan dari perhatian berbagai kalangan termasuk peneliti dan media massa. Dalam pandangan pengamat internasional (Sharma 1992), Indonesia mengikuti lazimnya pemerintah di Asia yang melibatkan koperasi secara terbatas seperti disektor pertanian.

Ketiga, masalah mendasar koperasi berkenaan prinsip dasar ekonomi. Hatta (1947, 56) menjelaskan bahwa rantai ekonomi, memiliki tiga rantai utama, yaitu perniagaan mengumpulkan, perantaraan dan membagikan[6]. Ketika sistem ekonomi hanya berputar pada kepentingan perdagangan dan menegasikan kepentingan perniagaan pengumpulan maupun membagikan, maka yang terjadi adalah penumpukan kekayaan pada titik perniagaan perantaraan (intermediasi) dan permainan harga yang dominan. Dampaknya adalah reduksi kepentingan produsen, konsumen, bahkan alam. Bentuk Ekonomi versi Hatta tersebut, kita sebut saja Ekonomi Natural, sebenarnya mengingatkan kita bahwa ekonomi jangan hanya dijalankan dengan menekankan mekanisme perdagangan (intermediasi), dan menganaktirikan produksi (seperti bertani, pertambangan, berkebun, kerajinan, dan lainnya) serta retail (berdagang eceran). Ekonomi Natural dengan demikian merupakan ekonomi produktif, intermediasi, sekaligus pertukaran untuk keseimbangan individu, masyarakat, alam dan akuntabilitas kepada Allah SWT.

Keempat, data perkoperasian Indonesia sampai tahun 2006, dijelaskan Jauhari (2006) didominasi oleh Koperasi Fungsional, seperti koperasi karyawan, koperasi pegawai dan lainnya yang dibentuk dalam lingkungan institusi tertentu baik pemerintah maupun swasta. Koperasi seperti itu jelas membatasi keanggotaan dan memiliki sifat stelsel pasif. Biasanya koperasi fungsional merupakan bentuk ekonomi intermediasi untuk memenuhi kebutuhan anggota, seperti swalayan, klinik, praktik dokter bersama, dan lain-lain. Koperasi fungsional seperti ini juga memiliki sifat subordinasi. Misal koperasi karyawan PLN dan AKLI, tujuannya memenuhi kebutuhan penyediaan bahan-bahan produksi PLN. Bahkan menurut Jauhari (2006) bentuk koperasi fungsional sangat mungkin bertentangan dengan tiga prinsip ICA. Prinsip Pertama, yaitu keanggotaan sukarela dan terbuka. Kedua, Prinsip Kedua, yaitu kontrol anggota yang demokratis. Ketiga, Prinsip Keempat, yaitu otonomi dan independen.

Kelima, dari sudut bisnis, keempat masalah koperasi di atas berdampak pada hilangnya sense untuk melakukan identifikasi apa yang disebut Prahalad dan Hamel (1990) sebagai kompetensi inti (core competencies). Bisnis koperasi selama ini tidak dapat mengidentifikasi keunikan dirinya. Koperasi – akibat kemanjaan dan intervensi – hanya dapat melakukan identifikasi core product. Padahal bila dilihat dari konsep bisnis, core competencies merupakan "jantung" organisasi atau perusahaan, sedangkan produk merupakan implementasi dari core competencies tersebut untuk menghasilkan nilai tambah organisasi bisnis. Core competencies perlu didesain melalui kejelasan visi dan misi organisasi. Sehingga konsekuensi logisnya pengembangan kompetensi bisnis, produk sampai sumber daya yang muncul mengarah pada core competencies.
Berdasarkan beberapa masalah di atas penelitian ini mencoba untuk menjawab pertanyaan, apakah aktivitas bisnis koperasi memiliki kreasi pemberdayaannya sendiri, otonom-independen, sesuai mekanisme naturalitas ekonominya, dan memiliki core competence-nya sendiri? Penelitian ini akan membahas bagaimana mengembangkan koperasi yang sebenarnya dari realitas masyarakat Indonesia. Pengembangan koperasi di sini tidak menolak proyek-proyek prestisius untuk kemajuan koperasi. Idealisme koperasi seperti itu harus tetap dikedepankan sebagai salah satu pemicu semangat agar koperasi tetap memiliki ruh perjuangan ekonomi rakyat. Tetapi perlu diingat, koperasi harus tetap sesuai jati dirinya sendiri. Seperti ungkapan mayoritas anggota International Co-operation Association (ICA) bahwa koperasi akan menjadi yang terbaik bila mereka menjadi dirinya sendiri.

1.2. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah, pertama, menggali konsep-konsep genuine berekonomi dari realitas masyarakat Indonesia; kedua, menempatkan konsep genuine berekonomi sebagai landasan utama pengembangan bisnis koperasi ala Indonesia; ketiga, menunjukkan bukti empiris bahwa ternyata masyarakat Indonesia memang memiliki keunikan tersendiri memahami koperasi; keempat, memberikan masukan konstruktif bagi pengambil kebijakan perkoperasian dalam pengembangan koperasi ke depan.

1.3. Struktur Isi Artikel

Artikel disusun dalam 6 bagian utama. Bagian pertama, pendahuluan, terutama menjelaskan tentang latar belakang, masalah, tujuan penelitian dan struktur isi artikel. Bagian kedua dan ketiga merupakan penjelasan teori yang digunakan. Bagian kedua menjelaskan mengenai koperasi sebagai operasionalisasi ekonomi rakyat. Bagian ketiga menjelaskan mengenai konsep core competencies bisnis. Bagian keempat menjelaskan mengenai metodologi penelitian dan metode yang digunakan untuk melakukan pengembangan konsep bisnis koperasi. Bagian kelima adalah pembahasan temuan penelitian. Bagian keenam catatan akhir dan agenda ke depan.

Sumber : http://ajidedim.wordpress.com/?p=175

Bersambung ke Bagian 2

0 Response to "Mengembangkan Kompetensi Bisnis Koperasi - Bagian 1"

Followers