Keadaan ini sebenarnya tidak jauh berbeda seperti yang di alami LSM di negara-negara lainnya. Di Pakistan dan Bangladesh, LSM selalu dituduh penyebab dalam setiap gerakan frontal fundamental. Di Negara-negara asia tengah LSM di identikkan sebagai perancang untuk menjatuhkan politisi. Di Negara-negara pecahan Soviet dan termasuk Rusia, LSM dipersepsikan sebagai pelindung dan topeng bagi organisasi kriminal. Survey World Economic Forum tahun 2003 menunjukkan bahwa terjadi penurunan tingkat public trust terhadap LSM walaupun level kepercayaan tersebut masih berada diatas politisi, swasta, guru dan agamawan.
Kembali ke Indonesia, walaupun fenomena pembususkan LSM ini dapat dirasakan dan telah mengarah ke stadium yang meresahkan aktifis LSM tulen karena harus kena getahnya, namun tidak semua LSM di tanah air memanfaatkan keresahan ini sebagai sebuah tantangan baru untuk mengangkat posisi kearah yang lebih baik dan membuktikan bahwa LSM tidak hanya pandai omong doang dan suka mengkritik Ketika gugatan good government governance ditujukan publik ke pemerintah dan good corporate governance ke sektor swasta, seharusnya kalangan LSM harus mampu mengantisipasi bahwa suatu waktu gugatan itu dapat berubah arah ke LSM itu sendiri. Bila perlu dari awal menunjuk hidung dan menggugat diri sendiri. Sehingga sekeras apapun tekanan kepada LSM untuk bersikap transparan dan akuntabel dalam mewujudkan good governance-nya, tinggal hanya menunjukkan bukti.
Jarang juga terdengar terdapatnya proses saling mengingatkan diantara sesama LSM agar menerapkan transparansi dan akuntabilitas. Padahal jujur saja ada LSM yang mengetahui kekurangan dan kecurangan LSM lainnya. Tidak mencampuri urusan rumah tangga orang lain dan senioritas antar aktifis LSM mungkin menjadi alasannya, disamping juga tidak tersedianya energi dan dukungan untuk itu. Sekedar catatan tambahan, tidak ada jaminan bahwa senioritas dan kemampuan bertahan hidup di LSM sejak Orde Baru akan berbanding lurus dengan integritas dan akuntabilitas.
Sebenarnya, pentingnya akuntabilitas LSM itu akan disadari apabila kita juga memahami peran yang dibawakan LSM. LSM adalah pembawa perubahan sosial yang efektif, mengatasnamakan masyarakat marginal, ada pihak penyandang dana yang sebagian besar berasal dari pihak asing, dan menjalankan fungsi-fungsi menejerial organisasi dan program. Semua itu bersifat publik karena kepentingan masyarakat sangat melekat erat sehingga wajar dimintai transparansi dan akuntabilitasnya karena gerakan LSM memiliki efek sosial, ada keterkaitan dengan penyandang dana serta membawa nama komunitas marginal. Pentingnya transparansi dan akuntabilitas itu menjadi semakin penting bila disesuaikan dengan buruknya citra yang melekat pada LSM saat ini.
Sampai di sini penulis yakin bahwa kawan-kawan di LSM dapat menerima dan mungkin juga lebih dahulu paham dan mengerti bahwa esensi trasparansi dan akuntabilitas LSM itu bukan hanya kepentingan sepihak pemerintah namun juga kepentingan LSM itu sendiri. Bahkan ruang lingkup transparansi dan akuntabilitas itu lebih luas dari sekedar audit keuangan dan publikasinya karena antara pemerintah dan LSM terdapat latar belakang, persepsi dan motivasi yang berbeda tentang perlunya transparansi dan akuntabilitas LSM. Perbedaan latar belakang, persepsi dan motivasi ini adalah alasan yang mendasar kenapa LSM harus menolak regulasi pemerintah dalam menentukan standar transparansi dan akuntabilitas LSM. Karena dibalik regulasi oleh pemerintah yang ditujukan ke LSM, cenderung terdapat kepentingan represif untuk membatasi sebuah gerakan sosial.
Lagi pula isu akuntabilitas LSM ini bukan hanya komoditi perdebatan domestik, namun sudah universal. Di banyak negara, LSM secara kolektif telah menjabarkan prinsip transparansi dan akuntabilitas itu dengan menyusun dan mengikatkan diri dalam kode etik, melakukan monitoring dan evaluasi, pe-rating-an, sertifikasi dan peningkatan partispasi dan sikap kritis publik dalam mengontrol LSM behavior. Semua itu self action yang mandiri tanpa campur tangan pemerintah di dalamnya. Tujuannya untuk menunjukkan bahwa LSM juga bisa transparan dan akuntabel. Hasilnya bisa meningkatkan posisi tawar dan martabat LSM itu sendiri dan meningkatkan public trust. Aksi nyata yang dapat djadikan contoh seperti yang pernah dibuat oleh American Council for Voluntary International Action, the Canadian Council for International Cooperation, the Philippine Council for NGO Certification, the Voluntary Action Network India, the Commonwealth Foundation of Britain, the International Red Cross and Red Crescent Movement, Credibility Alliance di India, Africa Union, NGO Code of Conduct di Botswana, Codes of Standard Practice di Nigeria atau SANGOCO Code of Ethics for NGOs di Afrika Selatan.
Dengan latar belakang LSM Indonesia saat ini yang cenderung ingin bebas dari pengaturan pemerintah maka bukan pengaturan dari pemerintah yang dibutuhkan, namun adalah kemauan dan kemampuan untuk mengatur diri sendiri (self regulation) guna mewujudkan LSM yang transparan dan akuntabel. Jalan yang harus ditempuh tentu saja melalui sebuah konsensus kolektif sesama LSM. Membentuk jaringan bersama (bukan LSM baru) untuk aksi ini mungkin adalah pilihan yang tepat sehingga gerakan transparansi dan akuntabilitas tidak parsial dan memiliki legitimasi yang kuat.
Kelemahan LSM di Indonesia dalam mewujudkan transparansi dan akuntabilitas sangat mungkin juga dipengaruhi oleh lemahnya kapasitas dan kemampuan, walaupun kemauan untuk itu ada. Maka dari itu, di dalam jaringan bersama harus ada ruang untuk proses saling belajar dan penguatan melalui peningkatkan kapasitas untuk mereduksi kekurangan dan kelemahan selama ini. Dibuat aturan bersama secara pertisipatif hingga pada ketegasan reward and punishment, bukan “menodong” LSM dengan tiba-tiba mengajukan kode etik. Selain itu harus beroperasi independent dan lepas dari conflict interest dan kepentingan politik praktis pemerintah serta tidak menjadi lembaga yang superior bagi LSM-LSM lainnya.
Apabila hal diatas bisa diwujudkan, tentunya tidak ada lagi LSM yang tidak akuntabel dan tidak transparan, setidaknya berkurang dalam jumlah. Tidak ditemui lagi LSM yang bicara anti korupsi tapi belakang layar ikut melakukan korupsi seperti kata istilah “maling teriak maling”. Kehadiran “jaringan bersama” juga diharapkan bisa menjadi promotor dan pembawa perubahan yang lebih baik bagi LSM dalam membuktikan kamampuan dan kemauan untuk akuntabel dan transparan dalam ruang lingkup yang lebih. Jangan sampai hendaknya maling berteriak maling lalu didatangi maling-maling lainnya yang berseragam polisi. Apabila seperti ini yang terjadi maka marilah kita sepakat menyebut LSM sebagai keranjang sampah!. (Habis)
Sumber : KPMM.OR.ID
0 Response to "Akuntabilitas LSM, Kepentingan Siapa ? - Bagian 2"
Post a Comment