Upaya Menangkal Praktik Penghindaran Pajak

Upaya Menangkal Praktik Penghindaran Pajak

Kontroversi tentang 750 perusahaan penanaman modal asing (PMA) tidak membayar pajak karena rugi selama lima tahun berturut-turut, seperti yang diungkapkan Menteri Keuangan terdahulu, Jusuf Anwar, menimbulkan beragam tanggapan baik dari DPR, pelaku bisnis, pengamat, dan bahkan dari institusi pemerintah sendiri yaitu dari Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal.

Terlepas dari berbagai komentar tersebut, dilihat dari perspektif perpajakan internasional, suatu perusahaan multinasional akan berusaha meminimalkan beban pajak global mereka dengan cara memanfaatkan ketiadaan ketentuan perpajakan suatu negara yang tidak mengatur ketentuan anti penghindaran pajak (anti tax avoidance) atau mengaturnya tetapi tidak memadai, sehingga menimbulkan peluang yang bisa dimanfaatkan untuk melakukan praktik penghindaran pajak.

Berkaitan dengan kontroversi tersebut di atas, pertanyaannya adalah apakah ketentuan perpajakan Indonesia sudah cukup memadai untuk menangkal praktik penghindaran pajak tersebut?

Menurut Journal of Commerce (November 1997:3A) seperti dikutip oleh Czinkota dan Ronkainen (2001:563) menyatakan bahwa sejalan dengan perkembangan ekonomi dunia, perdagangan internasional juga berkembang dengan pesat, demikian pula perdagangan antara perusahaan dalam satu grup.

Clausing (2001:173) menambahkan bahwa perusahaan multinasional mempunyai peran yang sangat besar dalam perdagangan internasional. Diperkirakan dua per tiga perdagangan dunia terjadi antara perusahaan yang mempunyai hubungan istimewa (dalam satu grup).

Oleh karena berhubungan dengan jumlah ekspor dan impor barang dalam jumlah yang besar yang dapat mempengaruhi jumlah pajak yang terutang, tentu saja transaksi tersebut dapat menimbulkan konflik antara pihak fiskus dan Wajib Pajak.

Penghindaran vs Penyelundupan

Dalam buku-buku perpajakan Indonesia, penghindaran pajak (tax avoidance) selalu diartikan sebagai kegiatan yang legal (misalnya meminimalkan beban pajak tanpa melawan ketentuan perpajakan) dan penyelundupan pajak (tax evasion/tax fraud) diartikan sebagai kegiatan yang ilegal (misalnya meminimalkan beban pajak dengan memanipulasi pembukuan).

Permasalahannya adalah apakah penghindaran pajak selalu legal? Menurut Roy Rohatgi (2002: 342), di banyak negara penghindaran pajak dibedakan menjadi penghindaran pajak yang diperbolehkan (acceptable tax avoidance/tax planning/tax mitigation) dan yang tidak diperbolehkan (unacceptable tax avoidance).

Artinya, penghindaran pajak dapat saja dikategorikan sebagai kegiatan legal dan dapat juga dikategorikan sebagai kegiatan ilegal. Suatu penghindaran pajak dikatakan ilegal apabila transaksi yang dilakukan semata-mata untuk tujuan penghindaran pajak atau transaksi tersebut tidak mempunyai tujuan usaha yang baik (bonafide business purpose).

Oleh karena itu, untuk mencegah praktik penghindaran pajak yang dilakukan oleh perusahaan multinasional, sebagian besar negara telah mempunyai ketentuan anti penghindaran pajak (Brian J. Arnold dan Michael J. McIntyre, 2002:81).

Penghindaran Pajak

Dalam buku-buku perpajakan internasional, praktik penghindaran pajak oleh perusahaan multinasional pada umumnya dilakukan dengan cara (i) transfer pricing, (ii) thin capitalization. (iii) treaty shopping, dan (iv) controlled foreign corporation (CFC).

Transfer pricing biasanya dilakukan dengan cara memperbesar harga beli dan memperkecil harga jual antara perusahaan dalam satu grup dan mentransfer laba yang diperoleh kepada grup perusahaan yang berkedudukan di negara yang menerapkan tarif pajak yang rendah.

Sedangkan thin capitalization dilakukan melalui pemberian pinjaman oleh perusahaan induk kepada anak perusahaannya yang berkedudukan di negara lain. Di mana perusahaan induk lebih suka memberikan dana kepada anak perusahaannya dengan cara pemberian pinjaman daripada dalam bentuk setoran modal.

Alasannya, biaya bunga (biaya yang timbul atas pinjaman) dapat dikurangkan dari penghasilan kena pajak anak perusahaan. Sedangkan dividen (biaya yang berkaitan dengan modal) tidak dapat dibebankan sebagai pengurang penghasilan kena pajak. Adapun treaty shopping dilakukan dengan cara memanfaatkan fasilitas tax treaty suatu negara oleh perusahaan yang tidak berhak atas fasilitas treaty tersebut.

Terakhir, praktik penghindaran juga dilakukan dengan cara menunda pengakuan penghasilan modal yang bersumber di luar negeri (biasanya di negara tax haven) untuk dikenakan pajak di dalam negeri, praktik ini dalam istilah perpajakan dikenal controlled foreign corporation (CFC).

Di Indonesia, ketentuan anti penghindaran pajak diatur dalam Pasal 18 UU PPh, akan tetapi tidak diatur secara ketat seperti yang diterapkan di banyak negara. Sebagai contoh, dalam ketentuan perpajakan Indonesia tidak ada pembatasan perbandingan antara modal dan utang (Debt Equity Ratio) untuk mencegah pembebanan biaya bunga yang tidak wajar, dan juga belum ada prosedur rinci tentang Advance Pricing Agreement (APA) yang bisa diterima oleh pihak fiskus maupun Wajib Pajak sebagai jalan tengah untuk memecahkan kebuntuan pemeriksaan transaksi transfer pricing yang begitu rumit dan memerlukan waktu yang lama.

Oleh karena ketiadaan sebagian aturan tentang anti penghindaran pajak dalam ketentuan perpajakan Indonesia, tentu saja akan dimanfaatkan oleh perusahaan-perusahaan multinasional untuk memperkecil beban pajak mereka.

Oleh Darussalam
Mahasiswa Advanced Master in European and International Tax Law di Tilburg University Belanda dan KU Leuven Belgia

&

Danny Septriadi
LL.M in International Tax Law dari Wirtschafts Universitat, Vienna Austria


0 Response to "Upaya Menangkal Praktik Penghindaran Pajak"

Followers