Perlakuan PPh terhadap Persekutuan

Perlakuan PPh terhadap Persekutuan

Persekutuan dalam Undang-undang Pajak Penghasilan masuk dalam kategori badan, yang diperlakukan sebagai subjek pajak dalam negeri sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b.

Di dalam UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan defnisi "wajib pajak" meliputi orang pribadi atau badan yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan untuk melakukan kewajiban perpajakan (Pasal I angka 1, UU No. 16/ 2000).

Pengertian "badan" sebagaimana disebutkan di Pasal I angka 2 adalah sekumpulan orang dan atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi: perseroan terbatas, perseroan komanditer , perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau daerah dengan nama atau bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi social politik, atau organisasi yang sejenis, lembaga, bentuk usaha tetap, dan bentuk badan lainnya.

Ketentuan di atas menunjukkan bahwa "persekutuan" adalah wajib pajak dalam negeri yang kewajiban perpajakannya sama dengan wajib pajak dalam negeri lainnya. Walaupun "persekutuan" masuk dalam kategori "badan" namun perlakuannya berbeda dengan perseroan terbatas dalam kaitannya dengan perlakuan atas pembagian laba setelah pajak.

Berdasarkan ketentuan Pasal 4 ayat (3) huruf I, bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi, bukan merupakan objek pajak penghasilan.

Jadi pada dasarnya "persekutuan" dikenai pajak hanya satu kali saja yaitu ditingkat persekutuan. Perlakuan ini berbeda dengan perlakuan terhadap perseroan terbatas, yang dikenakan pajak penghasilan baik ditingkat badan maupun ditingkat pemegang saham (kecuali memenuhi syarat tertentu). Dasar pemikirannya adalah penyertaan dalam suatu persekutuan tidak berupa saham.

Perlakuan pajak tersebut pada dasarnya sama dengan perlakuan yang diberikan di Negara-negara lainnya. Negara-negara lainnya terutama Eropa, untuk keperluan perpajakan "persekutuan" diperlakukan sebagai transparent entity, yaitu dikenakan pajak di tangan anggota persekutuan.

Dari sudut pandang Undang-undang Pajak Penghasilan, pengenaan pajak ditingkat "persekutuan" memang lebih mudah pelaksanaannya daripada seandainya diperlakukan sebagai transparent entity.

Transaksi Lintas Batas

Bagaimana perlakuan "persekutuan" dalam kaitannya dengan pelaksanaan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B). Untuk menjawab pertanyaan tersebut di bawah ini disajikan kasus yang melibatkan persekutuan yang melakukan kegiatan lintas batas. Kasus yang disajikan menyangkut persekutuan konsultan hukum.

Persekutuan yang berdomisili di luar negeri melakukan kegiatan di Indonesia. Misalnya persekutuan konsultan hukum yang berasal dari Denmark melakukan kegiatan konsultansi di Indonesia, dan jasa tersebut dilakukan selama 4 bulan. Untuk mengetahui apakah kegiatan persekutuan tersebut menimbulkan implikasi pajak penghasilan di Indonesia perlu disimak ketentuan di dalam P3B Indonesia-Denmark.

Mengingat jenis penghasilan yang berkaitan dengan kegiatan persekutuan tersebut adalah "business income" maka perlu diteliti apakah kegiatan tersebut menimbulkan bentuk usaha tetap atau tidak.

Namun demikian, mengingat perlakuan pajak atas persekutuan antara Indonesia dan Denmark mungkin berbeda maka perlu disimak ketentuan yang mengatur tentang "Personal Scope" dari P3B dimaksud, yang diatur di Article 1: "This Convention shall apply to persons who are residents of one or both of the Contracting States".

Ketentuan Article 1 diatas mengandung dua istilah kunci yaitu "person" dan "resident", yang keduanya diberi batasan.

Istilah "person" diberi definisi di Article 3(1)d yang berbunyi seperti berikut :

"The term "person" comprises an individual, a company and any other body of persons".

Dari batasan di atas maka "persekutuan" masuk dalam kategori "any other body of persons". Sesuai dengan ketentuan "Personal Scope", yang dicakup oleh P3B adalah "person" yang menjadi "resident" dari salah satu Negara. Pengertian dari "resident" diatur di Article 4 yang rumusannya adalah ebagai berikut"

"1. For the purpose of this Convention, the term "resident of a Contracting state" means any person who, under the law of that State, is liable to tax therein by reason of his domicile, residence, place of management or any other criterion of a similar nature."

Ketentuan yang diulas pekan lalu, menunjukkan "person" yang dicakup P3B adalah orang atau badan, yang berdasarkan undang-undang domestik negara dimana orang atau badan tersebut berdomisili, merupakan wajib pajak.

Dari sudut pandang Indonesia, sebagai negara yang harus menerapkan ketentuan P3B, memperlakukan "persekutuan" itu sebagai badan sehingga untuk menentukan apakah "persekutuan dari Denmark" tersebut dapat dikenai pajak di Indonesia, perlu ditentukan apakah kegiatan tersebut menimbulkan bentuk usaha tetap. Ketentuan yang berkaitan dengan masalah tersebut adalah Article 5(3) c, yang rumusannya sebagai berikut:

"3. The term "permanent establishment" likewise encompasses :

the furnishing of services, including consultancy services, by an enterprise through employees or other personnel engaged by the enterprise for such purpose, but only where activities of that nature continues (for the same or a connected project)."

Berdasarkan ketentuan tersebut "persekutuan Denmark" dianggap mempunyai bentuk usaha tetap di Indonesia. Karena berdasarkan contoh di atas, kegiatan pemberian konsultansi dilakukan selama 4 bulan.

Dengan demikian "persekutuan Denmark" dikenai pajak penghasilan berdasarkan Pasal 17 ditambah Pasal 26(4) dengan tarif berdasarkan P3B sebesar 15% sebagaimana diatur dalam Article 10(6).

Dari sudut pandang undang-undang yang berlaku di Denmark, persekutuan (partnership) diperlakukan sebagai transparent entity, sehingga yang dikenai pajak adalah anggotanya. Pajak penghasilan yang dibayar di Indonesia dapat dikreditkan di Denmark sesuai dengan ketentuan Article 23(3) P3B, yang rumusannya sebagai berikut.

"3. In the case of Denmark, double taxation shall be avoided as follows:

Subject to provisions of sub-paragraph c), where a resident of Denmark derives income which, in accordance with the provisions of this Convention may be taxed in Indonesia, Denmark shall allow as a deduction from tax on the income of that person, an amount equal to the income tax paid in Indonesia.

The deduction shall not, however, exceed the part of the income tax, as computed before the deduction is given, which is appropriate to the income which may be taxed in Indonesia."

Ketentuan di atas mewajibkan Denmark untuk memberikan kredit pajak atas pajak yang dibayar oleh persekutuan Denmark. Kemudian kredit pajak ini dibagi kepada para anggota persekutuan yang bersangkutan. Persekutuan yang berdomisili di Indonesia melakukan kegiatan di luar negeri.

Bagaimana halnya bila situasinya dibalik, yaitu persekutuan Indonesia melakukan kegiatan di Denmark. Dalam situasi demikian maka Denmark adalah Negara yang harus menerapkan ketentuan P3B.

Sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Denmark, penghasilan dari kegiatan profesi (professional income) hanya akan dipajaki di Denmark kalau hal itu dilakukan melalui suatu bentuk usaha tetap. (Lihat: European Tax Handbook, Published by International Bureau of Fiscal Documentation, 2004 - Editor" Juhani Kesti LL M- halaman 184).

Dengan asumsi bahwa kegiatan tersebut menimbulkan "bentuk usaha tetap" maka persekutuan Indonesia dimaksud akan dikenai pajak di Denmark.

Pajak tersebut dapat dikreditkan untuk keperluan penghitungan PPh di Indonesia. Batas kredit pajak tersebut tidak boleh melebihi batas kredit pajak sebagaimana diatur di Pasal 24 Undang-undang Pajak Penghasilan.

P3B Inggris

P3B dengan Inggris merupakan satu-satunya P3B yang secara khusus mengatur tentang "persekutuan" (partnership). Ketentuan dimaksud diatur di Article 3(2) dan Article 22. Rumusan dari Article 3(2) adalah sebagai berikut:

"(2) A partnership deriving status from Indonesian law which is treated as a taxable unit under the law of Indonesia shall be treated as a person for the purposes of this Agreement."

Ketentuan tersebut menegaskan bahwa suatu persekutuan Indonesia akan diperlakukan sebagai suatu "taxable unit" atau wajib pajak, apabila melakukan kegiatan di Inggris. Hal ini merupakan penegasan dari definisi "person" yang diatur di Article 3(1)(e) yang berbunyi sebagai berikut:

"(e) the term "person" comprises an individual, a company and any other body of persons, but subject to paragraph (2) of this Article does not include a partnership."

Ketentuan ini menunjukkan perlakuan pajak terhadap "persekutuan" berdasarkan undang-undang domestik Inggris berbeda dengan perlakuan undang-undang Indonesia. Oleh karenanya perlu ketentuan Article 22 dari P3B dimaksud yang rumusannya adalah sebagai berikut.

"Where, under any provision of this Agreement, a partnership is entitled, as a resident of Indonesia, to exemption from tax in the United Kingdom on any income or capital gains, that provisions shall not be construed as restricting the right of the United Kingdom to tax any member of the partnership who is a resident of the United Kingdom on his share of such income or capital gains; but any such income or gains shall be treated as income or gains from sources in Indonesia."

Ketentuan tersebut menegaskan perlakuan pajak terhadap "persekutuan" yang berlaku di Inggris berbeda dengan Indonesia. Jadi apabila suatu "persekutuan" Inggris memperoleh penghasilan dari Indonesia, Inggris tetap akan mengenakan pajak terhadap anggota persekutuan tersebut.


Oleh : Rachmanto Surahmat
Tax Partner
Prasetio, Sarwoko & Sandjaja Consult



1 Response to "Perlakuan PPh terhadap Persekutuan"

AC said...

Kami menyediakan program penggajian karyawan untuk membantu hitung pajak penghasilan. Silakan download di website kami.

Followers