Berbagai ketentuan pemerintah seperti modal minimum dan capital adequacy ratio yang lunak dibandingkan BPR konvensional membuat BPR Syariah lebih pesat berkembang.Salah satunya BPRS AlSalaam. Sukatna
Awalnya BPR AlSalam didirikan untuk motif sosial semata-mata. Namun dalam perkembangannya BPR Syariah yang dimodali Rp 60 juta tersebut bisa dijadikan sumber tumpuan untuk berbagai keperluan konsumennya, termasuk di dalamnya untuk pengembangan usaha.
“Para alumni Mesjid Salman ITB Bandung yang hidupnya sukses di Jakarta ingin melakukan kegiatan sosial melalui Yayasan Amal Salman, salah satu yang didirikan yayasan itu adalah BPRS AlSalam yang modalnya Rp 60 juta. Itu sebabnya sebagian besar pendiri BPR AlSalaam adalah alumni Mesjid Salman ITB,” kata Cahyo Kartiko, Direktur BPR AlSalaam, beberapa waktu lalu.
Lembaga pembiayaan yang didirikan 29 Februari 1992 ini telah mengalami pertumbuhan yang sangat pesat. Ini bisa dilihat dari pertumbuhan asetnya. Pada tahun 2001 asetnya baru Rp 5 miliar selang empat tahun kemudian atau 2005 sudah membengkak menjadi Rp 65 miliar. Kini asetnya sudah mencapai Rp 75 miliar, jumlah pembiayaannya Rp 60 miliar. Ada 8.000.970 nasabah yang dibiayai. Sedangkan dana deposito dari 600 nasabah sekitar Rp 44 miliar. Sedang nasabah tabungan berjumlah sekitar 10 ribu orang, namun nilai tabungannya hanya Rp 2,7 miliar. Angka-angka ini menujukkan betapa kinerja AlSalaam sangat bagus. AlSalaam memiliki 4 kantor kas, 7 payment point dan 3 mobil kas.
Perkembangan AlSalaam ini tidak terlepas dari strategi yang ditempuhnya. Di antaranya pindah haluan dari BPR konvensional ke BPR Syariah. Tetapi, meski pola pembiayaannya sudah berubah haluan tetapi segmen yang dibidik tetap sama, yakni pasar mikro, kecil, dan menengah. “Kami memberikan pembiayaan kepada usaha UKM, PNS, karyawan dan pensiunan. Penggunaan dananya sendiri bisa untuk kepentingan konsumtif, bisa untuk keperluan produktif,” papar Cahyo.
Menurut Cahyo, pihaknya membidik pembiayaan di bawah Rp 50 juta sehingga tidak head to head dengan bank umum konvensional. “Kita juga melayani pembiayaan yang kecil-kecil, seperto Rp 1 juta. Tetapi batasnya sampai Rp 1 miliar. Dari pengalaman kita yang terbesar Rp 700 juta. Itupun tidak diberikan tidak secara langsung melainkan bertahap. Misalnya, Rp 50 juta dulu, kemudian naik menjadi Rp 100 juta dan setreusnya sehingga jumlah totalnya Rp 700 juta,” sebut Cahyo.
Tidak perlu syarat yang aneh-aneh dan proses yang bertele-tele untuk bisa mendapatkan pembiayaan dari AlSalaam. “Persyaratan umum saja seperti administrasi, pemenuhan analisa pembiayaan yang 5 C (capital, cash flow, caracter dsb). Selama memenuhi persaratan kita proses,” terang Cahyo.
Sementara itu pembiayaan untuk PNS dan pensiunan lebih condong ke arah kemampuan mengangsur, seperti seperberapanya dari jumlah gaji. “Kalau pengusaha kecil harus benar-benar kita analisa apakah usahanya benar-benar ada dan apakah kredibilitasnya terjaga selama peminjaman.
Dengan berpindahnya jenis pembiayaan dari konvensional ke syariah, kolateral menjadi bukan pertimbangan utama dalam pemberiaan pembiayaan AlSalaam. Pemberian syariah produknya kalau tidak bagi hasil ya jual beli. “Kalau jual beli kolateralnya barang yang dibeli,” imbuh Cahyo.
Tetapi untuk bagi hasil Cahyo mengakui belum sepenuhnya dilaksanakan. Tetapi secara Standar of Procedure (SOP) bagi hasil lebih condong ke bagaimana nasabah mengelola usahanya sehingga bisa menghasilkan keuntungan. “Dari keuntungan itulah jaminan kita. Selain kondite 5 C, jaminannya ya usaha itu sendiri.”
Karena sifat kolateralnya yang demikian itu, menurut Chayo, perlu adanya pemikiran yang lebih hati-hati dan cermat. Artinya, bank sebagai pemutus pembiayaan harus bisa meyakinkan pada dirinya sendiri bahwa usaha yang dibiayai menguntungkan dan tidak mengandung risiko baik bagi bank sendiri maupun bagi nasabahnya.
Selain persyaratan yang tidak begitu njlimet, pengambilan keputusan untuk pengucuran pun tidak bertele-tele. Bahkan untuk pembiayaan yang sifatnya memang tidak berisiko daan segmen pasarnya captive seperti PNS maupun pensiunan, pembiayaan bisa satu hari cair. “Tetapi untuk nasabah umum yang membutuhkan analisa paling telat satu minggu,” janji Cahyo.
Mungkin yang masih membingungkan nasabah adalah bagaimana pola pembiayaan syariah. Dalam pembiayaan syariah dikenal jual beli (al-murabahah) dan bagi hasil (mudharabah). Dalam jual beli pembiayaan yang dilakukan sudah ditetapkan di muka. Misalnya nasabah ingin membeli sepeda motor yang harga tunainya Rp 12 juta. Pihak bank memeblikan motor tersebut kemudian menjualnya ke nasabah dengan harga, misalnya Rp 16 juta. Nilai itu kemudian dibagi jangka waktu pengangsuran, sehingga pengembalian nasabah bersifat fix tidak floating.
Kalau bagi hasil dasarnya dari omset per bulan. Misalnya nasabah punya usaha penerbitan dengan omset per bulan Rp 10 juta. Setelah mendapat pembiayaan dari bank syariah omset naik menjadi Rp 20 juta. Maka bank maupun nasabah berbagi hasil yang Rp 20 juta itu. Kalau pada bulan berikutnya mengalami penurunan omset, misalnya Rp 15 juta maka yang dibagi adalah Rp 15 juta. “Yang dipatok adalah bagi hasilnya, misalnya 60:40, tetapi berapa rupiahnya tergantung dari hasilnya. Demikian juga ke nasabah penabung maupun deposan yang ditetapkan adalah bagi hasilnya bukan rupiahnya sehingga dari waktu ke waktu nilai rupiahnya bisa berbeda. Bulan lalu ekuivalent dengan bunga 15%. Dengan sistem ini akan sangat fair, baik bagi penabung, bank maupun pengusaha penerima dana pembiayaan,” ujar Cahyo.
Dengan berbagai keunggulannya tersebut Cahyo yakin pembiayaan syariah, demikian juga BPR AlSalaam akan mengalami perkembangan yang pesat. Meski baru beberapa tahun berkembang namun BPR Syariah memiliki beberapa kemudahan dibandingkan bank konvensional maupun BPR konvensional. Terkait pengembangan kantor, kalau di BPR konvensional terkait CAR kalau kita nggak. Modal minimum kita juga lebih rendah. Kalau konvensinal Rp 5 miliar kalau syariah ‘hanya’ Rp 2 miliar (Jakarta),” pungkas Cahyo.
Proses Pencairan Pembiayaan BPRS AlSalaam
Nasabah mengajukan permohonan pembiayaan disertai foto kopi identitas diri, kartu foto kopi kartu tanda penduduk, foto kopi kartu keluarga, foto kopi jaminan yang diberikan.
Dalam permohonan pembiayaan juga harus disampaikan mengenai usahanya baik dari lokasi, riwayat usaha dan kondisi terakhirnya. Masalah keuangan, penjualan barang, pengambilan barang, foto kopi enam bulan terakhir tabungan atau giro, surat-surat bukti kepemilikan atas jaminan. Kalau motor BPKB-nya dan STNK, kalau tanah foto kopi Sertifikat Hak Milik (SHM) dan SPT terakhir.
Syarat-syarat itu diajukan ke customer service atau account officer. Mereka membuat memorandum pembiayaan dan analisa ke komite kredit. Di komite kredit permohonan ini diputuskan untuk diterima atau ditolak. Kalau diterima diserahkan ke bagian legal untuk membuat legalitas atas pembiayaan itu.
Kalau permohonan diterima, nasabah dipanggil untuk mencairkan uang. Untuk pinjaman PNS atau pensiunan biasanya memakan proses satu hari (cair), tetapi untuk nasabah umum paling lambat satu minggu (cair).
1 Response to "BPR Syariah Bergerak Lincah"
Memang sih sekarang banyak per-Bank-an yang membuka Syariah...heran nih....kenapa ya???
Post a Comment