Perkembangan Sistem Informasi Menuju Terbentuknya Masyarakat Informasi

Perkembangan Sistem Informasi Menuju Terbentuknya Masyarakat Informasi

Oleh : Rhiza S. Sadjad

Banyak pakar menyepakati bahwa kehidupan manusia di muka bumi saat ini tengah berada dalam peralihan dari era industri ke era pasca-industri (post-industrial). Jika pada era industri, energi merupakan issue sentral, maka pada era pasca-industri, informasi merupakan issue sentral. Sebagaimana energi dipindahkan dari satu tempat ke tempat lain menggunakan sistem transportasi, maka pertukaran informasi dilakukan melalui sistem komunikasi. Jika peristiwa jatuhnya bom atom (yang merupakan rekayasa energi yang canggih pada masanya) di Hiroshima dan Nagasaki pada tahun 1945 merupakan peristiwa bersejarah yang menandai era industri, maka boleh dikatakan bahwa peristiwa WTC 911 tahun 2001 (yang sarat dengan rekayasa teknologi informasi) merupakan “pertanda jaman” dari era pasca-industri yang sering disebut juga sebagai era informasi.

Berbagai Pertanda Jaman

Dalam peristiwa WTC 911 dua tahun lalu itu kita menyaksikan bagaimana pesawat-pesawat dari penerbangan sipil komersial telah di-rekayasa dengan teknologi informasi yang sangat canggih menjadi peluru-peluru kendali yang secara akurat telah menghancurkan beberapa sasaran penting di Amerika Serikat, yang belum pernah sebelumnya tersentuh oleh serangan musuh dalam berbagai peperangan yang melibatkan Amerika Serikat.

Claude Shannon adalah seorang peneliti di Laboratorium Bell yang pada tahun 1948 berhasil menurunkan secara matematis Teori Informasi (Information Theory). Risalah berjudul “Mathematical Theory of Communication” setebal 55 (limapuluh lima) halaman yang ditulis oleh Shannon telah membuka jalan ke era informasi. Seorang pakar ilmu komunikasi bernama Everett M. Rogers menyebut Claude Shannon dan juga Norbert Wiener (bapak Cybernetics) dalam bukunya sebagai “the engineers of communication”. Rogers juga yang dalam buku yang sama men-definisikan masyarakat informasi sebagai masyarakat yang sebagian besar warganya bekerja sebagai pekerja informasi, yang memperoleh nafkahnya dari mem-produksi, mengolah, menyebarkan informasi dan mem-produksi teknologi informasi. Dengan mengambil pengalaman Amerika Serikat yang sejarah komposisi tenaga kerjanya dapat dilihat pada Gambar 1, Rogers menggolongkan para peneliti, guru, dosen, manajer, sekretaris, wartawan, reporter, teknisi komputer, semua dalam kategori pekerja informasi yang diramalkan kelak akan memiliki peran dominan dan strategis dalam pembentukan masyarakat informasi.

Sistem Informasi 

Ketika kami memperhatikan bagaimana pegawai-pegawai administrasi di kantor kami menyusun surat-surat rutin yang secara reguler dikirim, kami baru menyadari bahwa walau pun surat-surat itu diketik dengan peralatan canggih berupa komputer, tapi sesungguhnya sistem informasi yang digunakan masih merupakan sistem informasi berbasis manual. Kami melihat bahwa ketika akan dibuat surat yang sama, maka yang dilakukan adalah meng-copy surat yang lama, kemudian mem-paste-nya pada halaman berikutnya, mengganti nomer, tanggal dan beberapa point informasi yang berubah. Dengan demikian, ketika dalam seminggu misalnya ada 20 surat yang sama harus dikirimkan, yang dibuat oleh pegawai kami adalah satu file surat berisi 20 halaman, masing-masing halaman berisi surat yang sama persis, hanya nomer, tanggal dan beberapa informasi saja yang berbeda.

Melihat kenyataan di atas, kami menyadari bahwa bagi kebanyakan kita, komputer baru berfungsi sebagai mesin ketik yang lebih canggih, yang tidak memerlukan tenaga dalam menekan tuts-tuts keyboard-nya, tidak memerlukan kertas karbon untuk membuat rangkapannya dan tidak memerlukan tip-ex untuk menghapus kesalahan.

Sistem Informasi Berbasis Komputer 

Sebagai suatu mesin pengolah data, komputer merupakan alat bantu yang tepat bila ada pekerjaan yang dilakukan secara berulang, yang tentunya akan membosankan bila dilakukan oleh manusia. Di kantor kami misalnya, menyusun surat pengantar bagi mahasiswa yang akan melaksanakan Kerja Praktek adalah salah satu pekerjaan rutin yang selalu berulang. Dalam surat pengantar itu, yang berubah hanya nomer surat, tanggal, nama dan nomer stambuk mahasiswa yang akan melaksanakan Kerja Praktek serta nama dan alamat perusahaan tujuan Kerja Praktek tersebut. Tentu saja akan menghabiskan waktu dan sangat membosankan bila surat seperti itu setiap kali harus diketik ulang. Demikian juga, pada hakekatnya sama saja dengan mengetik ulang sebenarnya jika surat tersebut setiap kali harus di-copy dan di-paste ke halaman baru. Jika sistem informasinya sudah benar-benar berbasis komputer, maka yang perlu diketik masuk hanya nomer stambuk mahasiswa dan nama perusahaan tujuan Kerja Praktek saja. Nomer surat, tanggal, nama mahasiswa dan surat itu sendiri mestinya secara otomatis tinggal dicetak keluar setelah nomer stambuk mahasiswa dan nama perusahaan tujuan Kerja Praktek diketik masuk dengan menggunakan satu form tertentu. Bukan itu saja, suatu sistem informasi yang benar-benar berbasis komputer mestinya bisa secara otomatis dapat mengeluarkan daftar surat pengantar Kerja Praktek yang sudah dikeluarkan, baik berdasarkan urutan nomer surat dan tanggal, atau berdasarkan nomer stambuk mahasiswa, misalnya.

Tentu saja banyak lagi dalam bidang administrasi yang bisa dibantu oleh komputer selain membuat surat. Semua pekerjaan yang secara rutin dilakukan berulang-ulang, semua pekerjaan yang memerlukan ingatan kuat dan kalkulasi yang akurat, pekerjaan-pekerjaan yang membosankan dan selalu membuka peluang kesalahan manusiawi, semua ini akan lebih mudah dan lebih sederhana jika dikerjakan dengan bantuan komputer. Tapi, harus diingat bahwa tidak semua memang pekerjaan menjadi lebih baik dan lebih mudah jika dilaksanakan dengan bantuan komputer. Pekerjaan yang memerlukan tanggungjawab dan akuntabilitas tidak akan lebih baik jika diserahkan kepada komputer untuk mengerjakannya. Sebab komputer tidak bisa mempertanggung-jawabkan pekerjaan yang dilakukannya, komputer tidak bisa dimutasi, diberi sanksi atau diberhentikan dengan tidak hormat, komputer tidak bisa dihukum karena kesalahannya. Sebagai contoh misalnya ketika terjadi kesalahan atau gangguan pada sistem komputer suatu Bank sehingga terjadi kekacauan dalam pencatatan saldo rekening ATM (Automatic Teller Machine), maka komputer jelas tidak bisa mengganti uang nasabah yang hilang, atau uang Bank yang hilang, bahkan vendor yang men-supply peralatan komputer itu pun tidak bisa dituntut untuk mengganti uang yang hilang akibat kesalahan sistem. Perlu diingat bahwa tidak ada sistem komputer yang bebas kesalahan (error free), yang ada adalah sistem yang punya toleransi terhadap kesalahan (fault tolerant).

Saya teringat dengan instansi-instansi pelayanan publik seperti PT. PLN dan PDAM yang biasa menyalahkan komputer-nya jika terjadi kesalahan dalam pencatatan jumlah tagihan kepada pelanggan. Padahal semua orang tahu, bukanlah komputer yang mendatangi rumah-rumah pelanggan untuk mencatat meteran listrik dan meteran air, melainkan petugas. Kita semua tahu bahwa komputer hanya berfungsi sebagai alat bantu, ketika manusia terlalu lelah atau terlalu bosan untuk mengerjakan suatu pekerjaan, maka bagian yang melelahkan dan membosankan dari pekerjaan itulah yang diserahkan kepada komputer, dengan tanggungjawab sepenuhnya tetap ada pada petugas atau pejabat yang menggunakan komputer tersebut. Kita semua mengenal konsep “garbage in - garbage out”, sampah dimasukkan ke komputer, sampah pula yang akan dihasilkannya!

Alangkah baiknya jika para penentu kebijakan dapat menimbang-nimbang dengan baik sebelum menerapkan otomatisasi atau komputerisasi di tempat pekerjaannya. Seyogyanya terlebih dahulu dipilah-pilah dengan cermat, mana bagian-bagian dari pekerjaan yang akan lebih cepat, lebih rapih, lebih teliti dan lebih akurat jika dikerjakan oleh tangan-tangan manusia yang trampil dan cekatan secara manual saja, dan mana pekerjaan yang akan lebih baik jika dikerjakan dengan bantuan komputer. Saya sendiri pernah mengalami dua jam menunggui seorang sekretaris di sebuah kantor instansi yang terpandang di Makassar ini mencoba membuat print-out alamat di atas amplop sebuah surat yang saya perlukan. Seandainya sang sekretaris menggunakan mesin ketik manual, mungkin dua menit saja sudah selesai, atau jika sang sekretaris mengenali fasilitas “Envelopes and Labels” yang ada dalam paket pengolah kata (Word Processor)-nya, tentu amplop itu selesai dalam bilangan detik saja. Tapi nyatanya saya telah menunggu amplop itu selesai tercetak selama dua jam. Untung ketika itu hujan deras di luar, dan kantor tempat sang sekretaris bekerja cukup nyaman untuk bersabar menunggu.

Sistem Informasi Berbasis Jaringan Komputer 

Ketika kita melihat printer-printer di kantor mulai “berjalan-jalan” (maksudnya dipindah-pindahkan) dari satu komputer ke komputer lainnya, atau ketika diskette-diskette mulai sering keluar-masuk drive A komputer yang satu dan yang lain untuk memindah-mindahkan file-file, maka inilah sebagian dari tanda-tanda ada gejala kita perlu meningkatkan sistem informasi yang berbasis komputer menjadi sistem informasi berbasis jaringan komputer. Gejala lain adalah ketika mulai ada pegawai yang antri menunggu untuk menggunakan suatu komputer - sementara komputer lainnya menganggur tidak dipakai - dengan alasan file-file yang diperlukan atau perangkat lunak yang akan digunakan hanya ada di satu komputer dan tidak tersedia di komputer lainnya. Satu-satunya jalan keluar adalah membangun jaringan komputer sehingga dapat dilakukan penggunaan sumber-daya secara bersama atau “resource sharing”. Memang prinsip dasar dari pembangunan jaringan komputer adalah “resource sharing” ini, sehingga peralatan accessories seperti printer, modem, scanner dan lain-lain, juga file-file, database serta berbagai fasilitas perangkat lunak dapat dimanfaatkan secara bersama dari beberapa komputer yang berfungsi sebagai terminal atau work-station. Kebutuhan akan jaringan juga akan terasa ketika data yang semestinya semacam mulai terlihat beragam. Bank yang baik harus menggunakan sistem jaringan komputer, sebab tidak bisa saldo rekening nasabah misalnya ditampilkan berbeda di satu kantor cabang dengan kantor cabang yang lain, atau dari satu mesin ATM dengan mesin ATM yang lain. Demikian juga maskapai penerbangan yang baik mestinya menerapkan sistem jaringan dalam komputerasi data penumpang. Tidak boleh terjadi perbedaan daftar penumpang yang ada di kantor cabang dengan daftar penumpang yang ada di counter-nya di Bandara. Daftar mahasiswa peserta kuliah di sebuah perguruan tinggi, apalagi daftar nilai misalnya, tidak boleh lain di Jurusan, lain di Fakultas dan lain lagi di Biro Akademik di Universitas, seperti yang terjadi di tempat kami bekerja, akibat belum diterapkannya sistem jaringan komputer secara penuh.

Organisasi Jaringan 

Dikenal luas ada berbagai macam topologi jaringan. Ada yang membangun konfigurasi bus, ring, star, mesh, dan seterusnya, atau kombinasi dari berbagai konfigurasi tersebut seperti terlihat pada Gambar 2. Dalam organisasi model begini, hampir-hampir tidak dikenal adanya hierarkhi, dan sudah pasti tidak ada level-level. Semua konfigurasi jaringan umumnya terdiri dari 2 (dua) unsur, yaitu node (simpul) dan link yang menghubungkan node yang satu dengan yang lain. Tidak ada orientasi dan mobilitas vertikal (karena tidak ada level-level), yang ada biasanya hanya orientasi “to get things done”, atau selesainya pekerjaan yang dibebankan.

Arsitektur jaringan tidak hanya diterapkan pada organisasi manusia, melainkan juga pada berbagai sistem hasil rekayasa manusia, seperti jaringan telekomunikasi, jaringan listrik, jaringan transportasi, jaringan komputer, Internet, dan lain sebagainya. Berbagai sistem organik pada makhluk hidup pun dipersepsi tersusun dalam struktur jaringan, seperti jaringan sel, jaringan saraf, jaringan pembuluh darah, dan masih banyak lagi.

Dalam pengorganisasian kegiatan-kegiatan kelompok manusia, struktur jaringan mulanya dikenal diterapkan pada kegiatan-kegiatan illegal yang berhubungan dengan kejahatan. Keluarga Mafia di Amerika Serikat, misalnya, walau pun diketahui umum mempunyai struktur hierarkhi yang kuat berdasarkan hubungan keluarga, tapi dalam operasi kejahatan (dan kebaikan juga) yang mereka lakukan, sepenuhnya ditunjang oleh sistem jaringan. Gerakan-gerakan politik bawah tanah, kegiatan terrorisme, spionase dan intelijen umumnya beroperasi dengan sistem jaringan. Baru akhir-akhir ini saja sistem jaringan di-adopsi untuk kegiatan-kegiatan legal dengan tujuan-tujuan kebaikan, seperti dalam dunia bisnis dikenal jaringan MLM (Multi-level Marketing, walau pun menggunakan istilah “level” tapi tidak sama pengertiannya dengan level-level struktural pada sistem organisasi konvensional), kegiatan-kegiatan LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat), bahkan upaya pengentasan kemiskinan seperti proyek “Jaring Pengaman Sosial” (JPS) pada mulanya dikonsepkan untuk menerapkan sistem jaringan tapi kemudian terjebak dalam struktur birokrasi pemerintahan.

Peredaran NARKOBA, misalnya, jelas sekali meng-adopsi konsep jaringan, karena lebih andal dan sulit dibongkar. Mungkin pada suatu saat bisa ditangkap satu-dua node atau diputus satu dua link, tapi keseluruhan jaringan tetap beroperasi, node-node dan link-link baru dengan mudah dibentuk dan dioperasikan. Konsep jaringan juga memudahkan penyusupan ke seluruh lapisan masyarakat karena fleksibilitasnya. Siapa saja bisa jadi node atau link dari jaringan peredaran ini, kadang-kadang tanpa disadari atau pun disengaja. Misalnya kalau sejumlah “barang” (NARKOBA maksudnya) “dititipkan” pada tas penumpang pesawat tanpa sepengetahuan yang bersangkutan, maka penumpang pesawat tersebut telah menjadi link tanpa disadari.

Masalah Terkini 

Berbicara mengenai perkembangan Teknologi Informasi dalam rangka membangun sistem informasi menuju terbentuknya masyarakat informasi, ada sedikitnya 2 (dua) masalah terkini (current issues) yang sedang ramai diperbincangkan dalam diskusi para pakar. Masalah pertama adalah masalah Hak Cipta dan Kepemilikan Intelektual (Copy Rights and Intellectual Property Rights), sedangkan yang kedua adalah masalah Teknologi Telekomunikasi Tanpa Kawat (Wireless Technology).

Masalah yang pertama terkait erat dengan masalah pembajakan perangkat-lunak (software) komputer yang merupakan dilemma yang dihadapi oleh kebanyakan masyarakat pengguna komputer di negera-negara miskin. Di satu sisi, masyarakat pengguna memang sangat memerlukan perangkat-perangkat lunak tersebut dalam rangka mengatasi masalah “digital divide” (kesenjangan pemanfaatan teknologi digital antara negara-negara maju yang mengusainya dengan negara-negara miskin yang memerlukannya). Di sisi lain harga jualnya di luar jangkauan daya beli mereka. Akhirnya maraklah pembajakan terhadap perangkat-perangkat lunak tertentu yang memang sangat dibutuhkan oleh masyarakat luas. Upaya-upaya yang dilakukan untuk mengatasi masalah pembajakan ini dalam koridor hukum formal umumnya menemui jalan buntu karena ke-tidak-siap-an baik perangkat-perangkat regulasi yang tersedia mau pun aparat penegak hukumnya sendiri. Kebuntuan ini kemudian mendorong dilakukan-nya upaya-upaya di luar jalur hukum, yang terkait erat dengan penyebaran virus. Baik fihak-fihak yang pro mau pun kontra terhadap penggunaan perangkat-perangkat lunak bajakan, kedua-duanya menyebarkan virus-virus komputer untuk mengganggu para pengguna perangkat-perangkat lunak tersebut. Contoh mutakhir adalah gangguan virus “WormBlaster” terhadap penggunaan perangkat-lunak Windows 2000 dan Windows-XP, yang sempat mengganggu operasi jaringan komputer di seluruh dunia. Jadi ada indikasi kuat bahwa akar permasalahan dari penyebaran virus-virus yang menghantui pengguna komputer di seluruh dunia adalah masalah Hak Cipta dan Kepemilikan Intelektual yang cenderung monopolistik dan eksploitatif dan cenderung mengarah kepada ke-tidak-adil-an yang tidak mendukung terciptanya masyarakat informasi global yang damai dan sejahtera. Oleh karenanya, patut didukung upaya-upaya penggunaan produk-produk perangkat lunak yang bersifat “freeware” dan “shareware”, yaitu dengan berpartisipasi aktif dalam promosi penggunaan perangkat lunak yang bersifat “open-source”, misalnya penggunaan sistem operasi berbasis LINUX.

Masalah yang kedua menyangkut perkembangan teknologi telekomunikasi tanpa kawat (wireless) yang didorong oleh penetrasi yang sangat cepat dari teknologi telpon seluler (cellular telephone technology) dan teknologi jaringan lokal tanpa kawat (wireless LAN). Integrasi total dari kedua teknologi ini akan segera menjadi kenyataan, sehingga kendala infrastruktur yang menghambat perkembangan jaringan komputer selama ini akan segera teratasi. Di sisi lainnya, berbagai masalah yang terkait dengan sistem telekomunikasi, seperti masalah regulasi, standarisasi, pemakaian lebar pita frekuensi (bandwidth) dan pengaturan penggunaan frekuensi radio (radio frequency allocation) akan menjadi masalah pula dalam pengembangan teknologi informasi.

0 Response to "Perkembangan Sistem Informasi Menuju Terbentuknya Masyarakat Informasi"

Followers